Oleh : Mh maulana
Seketika suasana sunyi. Instrumen irama berangsur masuk. Pelan. Synthizer mulai ambil bagian. Lalu gitar, bass, rhytem, drum. Vokal mengisi suara-suara lepas-tertahan. Tidak ada lirik. Semua tiba-tiba menjadi riuh dan megah. Prolog lagu pembuka yang garang. Penonton masih membisu. Pinus-pinus membeku di udara. Lagu itu berjudul gusar --semacam sihir awal yang dramatis.
Selepas maghrib. Malam itu (2/12) sebuah kompleks panggung sunyi di hutan Mangunan disulap anak-anak ekonomi kampus UAD menjadi pertunjukan musik yang semarak. Acara rutin tahunan jurusan dijauhkan dari pusat kota. Bukti bahwa musik masih penting, ratusan orang berbondong datang kesana.
Dan sebuah band bernama diandras diundang hadir. Ia tak sendiri. Ada illona and the soul project sebelumnya. Juga Eka gustiwana x prince husein setelahnya. Acara dikemas cukup epik. Lampu-lampu penuh warna bertebaran di salah satu bagian hutan itu. Tiketnya berkisar di angka 50 ribu. Di pamphletnya juga disebutkan ada sebagian donasi untuk yayasan anak kanker Indonesia. Tema besar acaranya tak lain tak bukan: mahakarya.
Kembali ke diandras, band dengan art work segitiga misteri dan genre rock alternatif beserta psikedelik kentalnya itu barangkali belum banyak diketahui penonton yang hadir. Tapi malam itu ia membuktikan dua hal. Ia --diandras band-- layak ditunggu dan layak didengar. Konsep pertunjukannya rapi. Dan ia membawa pesan penting yang diselipkan pada tempelan bass drum dan tulisan payung hitam yang dibawanya di panggung: Am i wrong to be my self?
Sungguh, pertanyaan atas eksistensi manusia yang menusuk.
Masuk ke lagu kedua, diandras mengambil resiko. Ia memainkan cover lagunya radiohead - paranoid android. Penonton yang didominasi anak muda kekinian ini tentu tak banyak yang tahu. Dengan aransemen yang lebih modern, ia seakan tak mau tahu dengan penonton. Pokoknya dengerin dulu deh musiknya, begitu kesan yang saya tangkap. Alhasil, musik yang dimainkan memang berkualitas. Tidak asal cover. Penonton menikmati, mereka anggukkan kepala. Bass dan guitar bersahutan mencabik irama. Lagu selesai. Penonton bersorak gemuruh.
Jeda sebentar. Mereka memperkenalkan diri ke penonton. Seperti perkenalan pada umumnya,
"Nanti bisa mencari tahu dan bercakap pada kami lebih banyak di akun ig @diandrasofficial"
Selanjutnya diandras lebih kompromi. Lagu ketiga yang ia mainkan cover desembernya efek rumah kaca. Gitar dipetik. Koor suara penonton langsung menyahut. Sayangnya diandras lagi-lagi tidak asal cover. Ia serius mengaransemen. Beberapa kali penonton tidak seiring dengan irama vokalnya Raga, sang frontman. Tapi di reff penghujung, semua merayakan desember dengan purna.
Selepas itu, hening sesaat. Malam masih saja diam. Barangkali ikut menonton. Meskipun tak ada meja judi, lagu berikutnya adalah kisah diandras yang bertaruh.
"Ini lagu kami sendiri yang akan masuk di album dan rencananya launching tahun depan. Semoga penonton bisa suka, bisa menikmati musik-musik diandras. Judulnya: Ananiah"
Intro dimainkan. Saya menggambarkannya perpaduan. Influen musik efek rumah kaca dan barasuara terasa kental sekali. Hal itu ditambah kekuatan sound diandras yang memiliki karakternya sendiri. Psikedelik dan instrumen musik yang riuh bergemuruh menjaga ritmenya. Lagunya bercerita soal keegoisan manusia. Liriknya memang tak langsung mudah didengar. Di reff, diandras mengajak penonton ikut bernyanyi.
"Ananiah"
"Ananiaah"
Mudah dihafal tentu saja. Barangkali juga enak jika besok didengar lagi. Petikan bass Azka dan gebukan drum rezza yang cadas. Synthizer Reza dan lead gitar Raga yang tak kalah mewarnai.
Lagu selesai. Tepuk tangan meramaikannya. Ada juga kelompok kecil penonton yang meneriakkan nama diandras dengan heboh. Sepertinya dari kumpulan panitia acara. Raga menambahkan sedikit pesan setelah lagu itu. Bahwa ananiah adalah lagu tentang keegoisan. Egois adalah sifat manusia dan kita mestinya bisa me-manusiawi-kan itu.
Selebihnya, diandras berkompromi lagi. Bukan suatu kesalahan tentu saja. Penontonnya adalah khalayak muda-mudi yang keranjingan lagu-lagu popuer modern dan lagu-lagu indie yang menyentuh hati. Tapi menurut hemat saya, diandras pintar mengambil jarak, ia tak mau serba tunduk pada kekinian. Lagu yang mereka bawakan berikutnya adalah musik-musik yang memengaruhi mereka berkarya. Kita dibawa pada satu hal bahwa band old school semacam pink floyd, oasis, muse, radiohead, dan coldplay ditambah garda depan indie indonesia --efek rumah kaca dan barasuara-- punya hubungan emosional yang kuat dengan mereka.
Cover aransemen dont look back in anger dari oasis dan sebelah mata dari efek rumah kaca, sukses membuat koor penonton bergemuruh lagi. Panggung malam itu jadi milik mereka. Satu-dua bisik-bisik penonton terdengar lirih bahwa band ini cukup berhasil jadi apa yang nanti mereka akan favoritkan.
Dan di akhir lagu mereka, efek synthizer langsung bisa penonton tangkap. Lagu epik cold play dimainkan. Fix you.
Hening. Membius. Flashlight hp masing-masing diacungkan ke udara. Pelan dan pasti. Bergerak ke kanan ke kiri. Vokal raga yang khas diiringi penonton yang mayoritas banyak hafal lagunya. Aransemennya juga rapi. Atmosfir yang Pamungkas. Seakan-akan setelah lagu itu acara konser musiknya sudah selesai.
Magis!
Selepasnya, dingin di hutan pinus berangsur hangat. Tidak terasa, nomor-nomor lagu diandras sudah dibawakan semua. Terasa cepat memang. Mungkin karena saya sendiri juga senang menikmati sehingga terasa cepat berlalu.
Akhirnya, salam perpisahan-untuk-jumpa-lagi mereka sampaikan. Hormat pada apresiasi penonton. Segala musik dimanapun berada selalu membutuhkan pendengarnya.
Catatan kecil saya, sayang sekali cover lagu creep dari radiohead tidak dimainkan. Padahal beberapa waktu yang lalu, mereka membuat video klip covernya di hutan pinus itu. Lalu sesi jamming untuk memperkenalkan personil dan instrumen musiknya kepada penonton yang seperti terlewat, mungkin karena estimasi waktu yang tak panjang sih. Terakhir, artistik panggung yang sebenarnya punya makna mendalam mungkin bisa lebih dikuatkan suasananya.
Terakhir, saya mungkin mulai tertarik dengan band ini dan ingin menulisnya lagi secara suka-suka jika ada kesempatan mendatang. Dari panggung, dua nomor dari eka gustiwana x prince husein yang energik dengan skill yang powerfull mengantar saya pulang. Menurut saya setelah fix you, pertunjukannya sudah usai. Sangat personal ini tentu saja.
Jalanan lengang. Lampu-lampu kota dan bayangan pohon pinus menjulang menemani perjalanan kami berdua. Lirih kita bernyanyi dengan fals lagu owl and wolfnya the sigit. Lagu yang seperti dibuat untuk memberi nyawa tempat ini. Suasana jadi tambah liris dan bermakna. Haha.
Oh ya, kepada diandras. Sampai jumpa di kos-kos-an kita tercinta!
Yogyakarta. Awal desember. 2018
Diandras. Photo by abu bakar justitia mukti |
Selepas maghrib. Malam itu (2/12) sebuah kompleks panggung sunyi di hutan Mangunan disulap anak-anak ekonomi kampus UAD menjadi pertunjukan musik yang semarak. Acara rutin tahunan jurusan dijauhkan dari pusat kota. Bukti bahwa musik masih penting, ratusan orang berbondong datang kesana.
Dan sebuah band bernama diandras diundang hadir. Ia tak sendiri. Ada illona and the soul project sebelumnya. Juga Eka gustiwana x prince husein setelahnya. Acara dikemas cukup epik. Lampu-lampu penuh warna bertebaran di salah satu bagian hutan itu. Tiketnya berkisar di angka 50 ribu. Di pamphletnya juga disebutkan ada sebagian donasi untuk yayasan anak kanker Indonesia. Tema besar acaranya tak lain tak bukan: mahakarya.
Kembali ke diandras, band dengan art work segitiga misteri dan genre rock alternatif beserta psikedelik kentalnya itu barangkali belum banyak diketahui penonton yang hadir. Tapi malam itu ia membuktikan dua hal. Ia --diandras band-- layak ditunggu dan layak didengar. Konsep pertunjukannya rapi. Dan ia membawa pesan penting yang diselipkan pada tempelan bass drum dan tulisan payung hitam yang dibawanya di panggung: Am i wrong to be my self?
Sungguh, pertanyaan atas eksistensi manusia yang menusuk.
Masuk ke lagu kedua, diandras mengambil resiko. Ia memainkan cover lagunya radiohead - paranoid android. Penonton yang didominasi anak muda kekinian ini tentu tak banyak yang tahu. Dengan aransemen yang lebih modern, ia seakan tak mau tahu dengan penonton. Pokoknya dengerin dulu deh musiknya, begitu kesan yang saya tangkap. Alhasil, musik yang dimainkan memang berkualitas. Tidak asal cover. Penonton menikmati, mereka anggukkan kepala. Bass dan guitar bersahutan mencabik irama. Lagu selesai. Penonton bersorak gemuruh.
Jeda sebentar. Mereka memperkenalkan diri ke penonton. Seperti perkenalan pada umumnya,
"Nanti bisa mencari tahu dan bercakap pada kami lebih banyak di akun ig @diandrasofficial"
Selanjutnya diandras lebih kompromi. Lagu ketiga yang ia mainkan cover desembernya efek rumah kaca. Gitar dipetik. Koor suara penonton langsung menyahut. Sayangnya diandras lagi-lagi tidak asal cover. Ia serius mengaransemen. Beberapa kali penonton tidak seiring dengan irama vokalnya Raga, sang frontman. Tapi di reff penghujung, semua merayakan desember dengan purna.
Selepas itu, hening sesaat. Malam masih saja diam. Barangkali ikut menonton. Meskipun tak ada meja judi, lagu berikutnya adalah kisah diandras yang bertaruh.
"Ini lagu kami sendiri yang akan masuk di album dan rencananya launching tahun depan. Semoga penonton bisa suka, bisa menikmati musik-musik diandras. Judulnya: Ananiah"
Intro dimainkan. Saya menggambarkannya perpaduan. Influen musik efek rumah kaca dan barasuara terasa kental sekali. Hal itu ditambah kekuatan sound diandras yang memiliki karakternya sendiri. Psikedelik dan instrumen musik yang riuh bergemuruh menjaga ritmenya. Lagunya bercerita soal keegoisan manusia. Liriknya memang tak langsung mudah didengar. Di reff, diandras mengajak penonton ikut bernyanyi.
"Ananiah"
"Ananiaah"
Mudah dihafal tentu saja. Barangkali juga enak jika besok didengar lagi. Petikan bass Azka dan gebukan drum rezza yang cadas. Synthizer Reza dan lead gitar Raga yang tak kalah mewarnai.
Lagu selesai. Tepuk tangan meramaikannya. Ada juga kelompok kecil penonton yang meneriakkan nama diandras dengan heboh. Sepertinya dari kumpulan panitia acara. Raga menambahkan sedikit pesan setelah lagu itu. Bahwa ananiah adalah lagu tentang keegoisan. Egois adalah sifat manusia dan kita mestinya bisa me-manusiawi-kan itu.
Selebihnya, diandras berkompromi lagi. Bukan suatu kesalahan tentu saja. Penontonnya adalah khalayak muda-mudi yang keranjingan lagu-lagu popuer modern dan lagu-lagu indie yang menyentuh hati. Tapi menurut hemat saya, diandras pintar mengambil jarak, ia tak mau serba tunduk pada kekinian. Lagu yang mereka bawakan berikutnya adalah musik-musik yang memengaruhi mereka berkarya. Kita dibawa pada satu hal bahwa band old school semacam pink floyd, oasis, muse, radiohead, dan coldplay ditambah garda depan indie indonesia --efek rumah kaca dan barasuara-- punya hubungan emosional yang kuat dengan mereka.
Cover aransemen dont look back in anger dari oasis dan sebelah mata dari efek rumah kaca, sukses membuat koor penonton bergemuruh lagi. Panggung malam itu jadi milik mereka. Satu-dua bisik-bisik penonton terdengar lirih bahwa band ini cukup berhasil jadi apa yang nanti mereka akan favoritkan.
Dan di akhir lagu mereka, efek synthizer langsung bisa penonton tangkap. Lagu epik cold play dimainkan. Fix you.
Hening. Membius. Flashlight hp masing-masing diacungkan ke udara. Pelan dan pasti. Bergerak ke kanan ke kiri. Vokal raga yang khas diiringi penonton yang mayoritas banyak hafal lagunya. Aransemennya juga rapi. Atmosfir yang Pamungkas. Seakan-akan setelah lagu itu acara konser musiknya sudah selesai.
Magis!
Selepasnya, dingin di hutan pinus berangsur hangat. Tidak terasa, nomor-nomor lagu diandras sudah dibawakan semua. Terasa cepat memang. Mungkin karena saya sendiri juga senang menikmati sehingga terasa cepat berlalu.
Akhirnya, salam perpisahan-untuk-jumpa-lagi mereka sampaikan. Hormat pada apresiasi penonton. Segala musik dimanapun berada selalu membutuhkan pendengarnya.
Catatan kecil saya, sayang sekali cover lagu creep dari radiohead tidak dimainkan. Padahal beberapa waktu yang lalu, mereka membuat video klip covernya di hutan pinus itu. Lalu sesi jamming untuk memperkenalkan personil dan instrumen musiknya kepada penonton yang seperti terlewat, mungkin karena estimasi waktu yang tak panjang sih. Terakhir, artistik panggung yang sebenarnya punya makna mendalam mungkin bisa lebih dikuatkan suasananya.
Terakhir, saya mungkin mulai tertarik dengan band ini dan ingin menulisnya lagi secara suka-suka jika ada kesempatan mendatang. Dari panggung, dua nomor dari eka gustiwana x prince husein yang energik dengan skill yang powerfull mengantar saya pulang. Menurut saya setelah fix you, pertunjukannya sudah usai. Sangat personal ini tentu saja.
Jalanan lengang. Lampu-lampu kota dan bayangan pohon pinus menjulang menemani perjalanan kami berdua. Lirih kita bernyanyi dengan fals lagu owl and wolfnya the sigit. Lagu yang seperti dibuat untuk memberi nyawa tempat ini. Suasana jadi tambah liris dan bermakna. Haha.
Oh ya, kepada diandras. Sampai jumpa di kos-kos-an kita tercinta!
Raga. Photo by abu bakar justitia mukti |
Azka. Photo by abu bakar justitia mukti |
Rezza. Photo by abu bakar justitia mukti |
Reza. Photo by abu bakar justitia mukti |
Yogyakarta. Awal desember. 2018
Comments
Post a Comment