Skip to main content

Galeri Kecil Bersama #1 : Tentang Petani

Foto Pribadi, Sawah di Gunung Kidul
Ide awalnya adalah keinginan berkarya bersama. Dibuat dari tempat yang berbeda-beda dalam merespon ide atau tema awal yang disepakati. Sebagai awalan, cerita sederhana tentang petani menjadi babak pembuka.

Singkatnya, Mas Yudi malam itu (22/3) mengabarkan via chat. Ia baru saja bertemu beberapa petani muda dari Magelang yang memiliki energi dan semangat yang menarik. Ia seketika membuat rekaman sederhana petikan gitar yang berdurasi sekitar Dua menit dan dikirim ke saya. Ia menginginkan agar saya membuat puisi dan membacakannya untuk mengisi nada yang telah dibuatnya tersebut.

Malam itu juga saya membuat  semacam puisinya. Saya tulis dan saya rekam menggunakan Hp untuk nanti digabungkan dengan aplikasi Wavepad Audio. Judul 'menuju merdeka' saya pilih untuk memaknai cerita singkat dan nada petikan gitar yang telah dikirim. Tanpa maksud berlebihan, gagasan puisinya ditujukan untuk menceritakan ulang cerita itu. Dan barangkali juga, cerita petani lain di manapun berada.

Ide selanjutnya lalu muncul. Mengajak kawan baik yang lain untuk ikut meresponnya. Menjadi semacan tantangan kolaborasi karya jarak jauh di tengah pandemi virus corona belakangan ini yang tak banyak mengizinkan orang-orang untuk berkumpul dengan bebas. Beberapa kemudian merespon dan jadilah sekumpulan karya kecil ini.

1. Diawali Petikan Gitar Mas Yudi




Di suatu sudut Kulon Progo, bebunyian itu direkam dengan Hp. Nadanya mengalun merdu. Mengingatkan akan harapan dan kedamaian. Mas Yudi tahu benar cara memainkan gitarnya. Tak butuh waktu lama, narasi tentang hijau alam dan hembus angin seperti langsung mampu kita lihat dalam petikan gitar itu.

2. Dilanjutkan Semacam Puisi Saya


MENUJU MERDEKA 
Di Pematang,
Memupuk tanah sendiri
Mengisinya dengan bakti
Sembari berharap pada yang tumbuh
Di Kehidupan
Seluas cakrawala 
Kami mencangkul takdir
Sebagai manusia
Dari terang pagi
Membersamai tenggelam sinar jingga
Kami bertuan merdeka
Demi riuh kibar padi menguning
Syukur kasih tak terhingga 
Tegap jalan kami
Pada upacara sehari-hari
Tanaman berbaris menghadap ufuk
Sembah keseimbangan alam
Merawat masa depan 
Tetaplah gagah
Tubuh punggung nasib
Membela sejengkal tanah
Dimana kebebasan bukan hal ghaib
Sebab pekik gaungnya senantiasa menempa jiwa 
Kami petani sejati
Menuju kenyataan merdeka
Seperti arah sejarah
Yang selalu tepat memihak kebenarannya 
Yogyakarta, 22 Maret 2020
Mh Maulana


Malam sudah hampir purna. Beberapa kamar di kos-kosan sudah menggelap. Saya mencoba ikut memberi energi dalam kalimat yang tersusun. Entah sampai atau tidak, saya senang melakukannya. Menurut hemat saya, Menuju merdeka adalah proses sekaligus laku usaha. Ia merangkum keyakinan dan harapan. Petani tidak bisa diabaikan begitu saja. Petani adalah tulang punggung nasib yang sedang bergerak menuju sejarahnya. Menuju merdeka.

3. Dibuatkan Video Lirik Bung Jeki




Seniman dari Tegal ini ikut ambil bagian. Petikan gitar dan semacam puisi yang telah digabung diminta oleh Bung Jeki untuk dibuatkan video liriknya. Saya seketika langsung mengirimnya. Di tengah kesibukannya dengan berbagai kegiatan kebudayaan ia masih menyempatkan diri untuk ikut memberi energi.

4. Dicoretkan Dalam Gambar Irwan




Kali ini giliran goresan tangan salah satu takmir masjid Quwwatul Islam kota Yogyakarta. Irwan langsung meresponnya dengan coretan gambar di atas kertas. Berbekal backsound petikan gitar dan puisi, ia menggoreskan pena dan tintanya. Ia memulainya dengan tulisan kaligrafi latin. Kemudian gambaran suasana petani ia munculkan. Coretannya bersuara banyak. Kebersamaan petani: Kebahagiaan hidup bersama. Alam raya merestui.

5. Dilagukan Rizal Gopek




Dari Jombang, Gopek melagukannya. Ia merespon cerita, semangat, dan energi baik tentang petani itu. Vokal dan petikan gitarnya langsung saja mengajak kita ingin ikut bernyanyi. Lelagu petani. Tak banyak basa-basi. Bergerak menuju inti. Tangan dingin Gopek berhasil mengeksekusinya.

6. Dilukis dan divisualkan Edwin Dkk




Edwin begitu totalitas. Ia memerankan diri dan karya lukisnya bersama dengan backsound puisi dan petikan gitar. Tak lupa kawan baik yang juga total bersamanya: Ervan dan Rizki. Ia memilih lokasi yang tepat. Hamparan sawah di dekat rumahnya, di Imogiri Bantul. Visualisasi setiap adegan terkonsep sekali. Pencahayaannya kuat. Lukisan sederhana pada cerita petani yang sederhana. Utuh. Tanpa polesan berlebih. Memberi makna.

***
Selepas ini, kita akan meminta pendapat pada kawan petani langsung. Setidaknya ada komentar yang muncul tersebab karya-karya kecil yang terkomunikasikan. Selebihnya tentu saja melakukan hari-hari seperti biasanya.

Galeri Kecil Bersama #1 ini bisa jadi sebuah awalan. Bisa jadi juga hanya mengawali untuk kawan-kawan yang lain bisa melanjutkan. Sengaja kita belum atau bahkan tidak merespon dengan tema yang sedang ramai belakangan ini. Bukan apa-apa. Kami hanya khawatir jika berbicara atau bertindak terlalu jauh dari kompetensi atau kemampuan kita. Itu saja. Terakhir, semoga sehat selalu semuanya. Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya.

Link download karya-karya diatas bisa diunduh di url berikut : https://drive.google.com/folderview?id=1-BhBVQyyD4sgUY4DxThQzspKTMh2uHav

Yogyakarta. Awal April, 2020.
Mh

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya