/I/.
Tersebab darah, tersebab kebencian, juga cinta, kita lupa, kita biarkan api melahap habis rumah terakhir di Dermaga.
/II/.
Kita terdiam. Kita saling membenci dan mendendam. Hari sebelum peristiwa kobaran api itu, kita sebarkan kemarahan di antara kita pada kampung-kampung seisi pulau. Kita memang tak berani beradu mata di satu meja, kita adalah pemberani, sekaligus juga pecundang, secara bersamaan.
/III/.
Kita telah merencanakan penyelamatan terbaik. Kita abai pada kerumunan dan mereka yang kelaparan, kita tak peduli pada waktu orang-orang, kecuali memberikan kegembiraan.
/IV/.
Kita menuntut orang-orang mendengar, tapi telinga kita terlalu tuli untuk melakukan sebaliknya. Kita memiliki cahaya terbaik yang tak tertandingi. Kita tak perduli pada keadaan orang-orang, kecuali mendatangkan kebahagiaan.
/V/.
Dendam kita begitu membara. Seringkali, kita menambah bara dan minyaknya di persembunyian masing-masing. Kita saling mengamati untuk mencatat dosa yang bisa kita ceritakan di berbagai suasana. Entah mengapa, melihatmu terlihat buruk rasanya seperti berada di Sorga.
/VI/.
Sudah lama kita memang tidak saling perduli. Namun kita begitu tinggi mencurahkan perhatian. Kita tidak perduli pada bahaya yang mengancam penduduk pulau, kita hanya perduli pada dosa masing-masing yang bisa lebih banyak untuk dikumpulkan.
/VII/.
Kita adalah bagian dari kerumunan, tapi kita sendiri menganggap bahwa individu memiliki hak atas kemerdekaan. Itu sebabnya, kita tidak mau berbagi cahaya, kita tidak mau berbagi cerita, kita tidak mau mendengar tangis dan tawa orang-orang yang membuat waktu menjadi sia-sia belaka.
/VIII/.
Kita tentu masih ingat, ketika pencurian perahu dan jala menjadi ramai. Kita yang memiliki peluru dan senapan, lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Tak banyak memang yang kita lindungi, tapi bunga anggrek dari pulau seberang di belakang rumah kita itu maknanya sungguh tak ada yang menandingi.
/IX/.
Kita sebenarnya tak pernah benar-benar bekerja, tak pernah benar-benar berencana. Kita hanya merasa begitu hidup karena memiliki cahaya yang orang lain tak mampu memilikinya.
/X/.
Kita terus ceritakan peran cahaya kita ke orang-orang. Tanpa itu, tentu saja sejak dari dulu mereka semua akan tetap tinggal dalam kegelapan.
/XI/.
Kita saling menghitung dosa masing-masing dan tak berniat menghapusnya. Kita memperbanyak hitungan itu sebagai perayaan atas dendam dan kebencian masing-masing yang semakin dalam setiap harinya. Oleh karenanya, rumah terakhir kita di Dermaga habis terbakar. Dan kita terlambat menyadari bahwa air laut yang begitu banyak di hadapan kita itu, bisa memadamkannya.
Yogyakarta, Gerhana Mei, 2021
Comments
Post a Comment