Skip to main content

Sebelas Romawi Pembenaran

/I/.
Tersebab darah, tersebab kebencian, juga cinta, kita lupa, kita biarkan api melahap habis rumah terakhir di Dermaga. 

/II/. 
Kita terdiam. Kita saling membenci dan mendendam. Hari sebelum peristiwa kobaran api itu, kita sebarkan kemarahan di antara kita pada kampung-kampung seisi pulau. Kita memang tak berani beradu mata di satu meja, kita adalah pemberani, sekaligus juga pecundang, secara bersamaan. 

/III/. 
Kita telah merencanakan penyelamatan terbaik. Kita abai pada kerumunan dan mereka yang kelaparan, kita tak peduli pada waktu orang-orang, kecuali memberikan kegembiraan. 

/IV/. 
Kita menuntut orang-orang mendengar, tapi telinga kita terlalu tuli untuk melakukan sebaliknya. Kita memiliki cahaya terbaik yang tak tertandingi. Kita tak perduli pada keadaan orang-orang, kecuali mendatangkan kebahagiaan. 

/V/.
Dendam kita begitu membara. Seringkali, kita menambah bara dan minyaknya di persembunyian masing-masing. Kita saling mengamati untuk mencatat dosa yang bisa kita ceritakan di berbagai suasana. Entah mengapa, melihatmu terlihat buruk rasanya seperti berada di Sorga. 

/VI/.
Sudah lama kita memang tidak saling perduli. Namun kita begitu tinggi mencurahkan perhatian. Kita tidak perduli pada bahaya yang mengancam penduduk pulau, kita hanya perduli pada dosa masing-masing yang bisa lebih banyak untuk dikumpulkan. 

/VII/.
Kita adalah bagian dari kerumunan, tapi kita sendiri menganggap bahwa individu memiliki hak atas kemerdekaan. Itu sebabnya, kita tidak mau berbagi cahaya, kita tidak mau berbagi cerita, kita tidak mau mendengar tangis dan tawa orang-orang yang membuat waktu menjadi sia-sia belaka. 

/VIII/.
Kita tentu masih ingat, ketika pencurian perahu dan jala menjadi ramai. Kita yang memiliki peluru dan senapan, lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Tak banyak memang yang kita lindungi, tapi bunga anggrek dari pulau seberang di belakang rumah kita itu maknanya sungguh tak ada yang menandingi. 

/IX/. 
Kita sebenarnya tak pernah benar-benar bekerja, tak pernah benar-benar berencana. Kita hanya merasa begitu hidup karena memiliki cahaya yang orang lain tak mampu memilikinya. 

/X/. 
Kita terus ceritakan peran cahaya kita ke orang-orang. Tanpa itu, tentu saja sejak dari dulu mereka semua akan tetap tinggal dalam kegelapan. 

/XI/. 
Kita saling menghitung dosa masing-masing dan tak berniat menghapusnya. Kita memperbanyak hitungan itu sebagai perayaan atas dendam dan kebencian masing-masing yang semakin dalam setiap harinya. Oleh karenanya, rumah terakhir kita di Dermaga habis terbakar. Dan kita terlambat menyadari bahwa air laut yang begitu banyak di hadapan kita itu, bisa memadamkannya. 

Yogyakarta, Gerhana Mei, 2021

Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...