Tak ada lagi yang lebih kurindukan daripada itu. Merasai hawa dingin yang memeluk. Aroma pohon-pohon basah. Serta wangi tanahnya yang tak pernah berubah.
Hutan, dalam pengertian yang telah kubatasi, ia selalu berarti terdiri setidaknya pinus-pinus yang rimbun. Jalan setapak, daun-daun gugur yang membentuk polanya sendiri di bawah, dan tentu saja, suara kumbang yang berisik dengan selingan kicau burung di antara rapat nadanya.
Hutan, berada di gunung dan, lereng atau perbukitan yang menawan. Hutan menunjukkan misterinya dalam benak yang mampu terbayangkan. Seperti peri-peri, kehidupan yang lain, atau sejenisnya. Hutan begitu hidup dalam ingatan dan kenyataannya, yang akan kudatangi, entah kapan.
Saat itu, usiaku masih duapuluhan awal. Hutan sudah seperti tempat wajib yang pasti terlewati dalam pendakian. Aku tidak suka hutan dengan pepohonan yang terlalu rapat dan gelap. Aku selalu menyukai jika setidaknya masih ada celah, masih ada sedikit hamparan, untuk menikmati ruang nafasnya.
Dan sekarang, aku, tokoh utama cerita ini, sedang bertarung dengan ingatan aroma dan wewangian yang belum mampu kurasakan, karena suatu alasan.
Betapa menyedihkan ketika ingatan kita yang paling kuat tentang aroma dan wewangian tiba-tiba saja melenyap. Padahal, tidak sedikit dari aroma itu yang begitu menyelamatkan.
Aku menyusun seluruh yang masih bisa untuk kukumpulkan. Wangi parfum kekasih yang tertinggal dan indah, wangi segar setelah mandi, wangi pagi yang menyejukkan. Seminimalnya tiga hal itu saja sudah begitu menggairahkan. Dan aku kini, tak mampu lagi, atau mungkin belum, untuk kembali merasakannya.
Lalu ingatan, dan juga harapan, tentang hutan itu begitu menguatnya. Namun hanya dalam lanskap gambar yang masih mungkin untuk kutata letak pohon, langit, jalan setapak, dan diriku sendiri tentu saja. Tapi tetap saja, diriku yang tengah berdiri di sana, saat mencoba menghirup semua wewangiannya, masih saja hampa.
Ada yang mengatakan bahwa resiko terburuk itu seringkali adalah yang paling baik, karena kita telah lebih siap menghadapinya. Namun aku, tokoh utama cerita ini, masih begitu ketakutan membayangkannya.
Saat ketika, tidak ada lagi wangi yang memberi arti. Keindahan warna hanyalah pernak-pernik kosong yang tak mampu terasakan --dalam nafas teratur kita yang ritmis menikmatinya.
Hutan masa lalu, ingin sekali rasanya kuterbangun dan berada di sana. Bersama orang yang kita sayangi. Menghisap tembakau yang bergemeretak karena rempah dan cengkihnya berangsur jadi asap. Terasa kuat dan berpadu dengan keheningan alam yang berbicara dalam nasihat yang bersahaja.
Merindukan hutan, merindukan wewangian yang telah jadi abadi di sana. Merindukan sejuk dan nafas panjang pada kehidupan.
"Kamu akan cepat sembuh." Ucap panggilan di telefon
"Iya, terimakasih."
Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu. Terbangun dari lelap tidur, dan semuanya kembali seperti sedia kala.
Oh hutanku, sampai jumpa.
Yogyakarta, Akhir Juli. 2021
Mantap jiwa tulisan si tokoh utama mengingatkan wewangian tembakau yang terbakar bersatu dengan aroma kopi dalam suasana sejuk hutan seakan berteman mengobrol dengan pohon dan rumput yang memberikan nikmat juga nasehat cepatlah sembuh yaaa
ReplyDeleteWah, siapapun anda. Terimakasih yaaa. Salam sehhat selaluu.
Delete