Seorang gadis kesepian, dengan buku yang sudah bosan dibacanya, melihat hujan dari pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Gadis itu duduk di sofa usang yang masih nyaman digunakannya untuk merebahkan diri dan bermalas-malasan. Posisi sofanya memungkinkan seluruh tubuh untuk merasai lembut kapas-kapas di balik lapisan kainnya.
"Seandainya saja aku jadi hujan, tak perlu mendapat omelan ibu, bisa jatuh dengan bebas, ramai, dan penuh kegembiraan."
Baru saja gadis itu membatin, suara dari dapur yang cukup keras, menyadarkannya.
"Sri, ayo bantu ibu masak, jangan malas-malasan, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai ini."
"Iya, Buu." Gadis itu membatin sembari menekankan kata pekerjaan rumah --yang kembali mengingatkannya betapa masih menumpuk soal-soal matematika dan bahasa inggris yang diberikan gurunya sebagai pekerjaan rumah.
Sementara di luar rumah, hujan yang sedang turun dengan cukup derasnya, berbicara juga.
Hujan yang setetes, dengan kecepatan tingginya meluncur, berteriak kepada rekannya, karena suaranya yang memang ramai sekali.
"Capek jadi hujan, lebih enak jadi angin, dia tak perlu lenyap setelah meluncur seperti kita ini, kalau kita sudah jadi genangan kan bukan kita lagi." Ucapnya dengan nada kesal.
"Iya, betul." Jawab hujan yang lain.
Setelah berdialog singkat itu, mereka lenyap, menjadi genangan. Seperti akhir yang sudah mereka ketahui.
Di tempat yang tidak jauh dari hujan tersebut, langit masih mendung. Seperti kanvas yang hanya bercoretkan warna abu-abu dengan beberapa gores warna putih yang belum terwarnai.
Angin berhembus tak beraturan. Kadang ke barat, tak jarang juga ke timur. Meliuk-liuk tanpa arah yang jelas.
"Apa enaknya jadi angin, bergerak tanpa tujuan, tak punya kemampuan menentukan pilihannya sendiri." Angin mengomel sendiri. "Membosankan sekali rasanya."
Pohon cemara yang kebetulan melihatnya ikut mengomentari.
"Itu jauh lebih baik daripada terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa seumur hidup." Ucap pohon cemara yang tingginya kurang lebih tiga setengah meter tersebut.
Angin yang sudah terlanjur bergerak menjauh dari pohon cemara itu belum sempat menimpali.
"Ah, sialan." Batinnya memaki.
Pohon cemara yang kembali terdiam setelah mengomentari angin kini melihat dua ekor burung pipit yang terbang rendah menghinggapi dahannya. Ia menyiapkan diri untuk mengajak burung itu berbicara. Lebih tepatnya mengomentari juga.
Dengan suara cukup sinis ia mengatakan kepada burung yang baru saja hinggap itu, "Enak sekali jadi kalian. Terbang sesuka hati. Melihat dunia ini dengan sayap ajaib yang kalian miliki."
Dua burung pipit yang sedang hinggap itu ternyata tidak sedang dalam perasaan baik. Burung pipit jantan menjawab ucapan dari pohon cemara yang dengki itu, "Berisik. Kami baru saja kehilangan telur-telur kami karena dimakan ular pohon, hidup kami selalu tidak tenang dan penuh resiko dari para reptil kurang ajar itu. Coba saja kami jadi mereka dan mereka jadi kami. Bertukar nasib. Coba rasakan ketidakberuntungan kami."
Setelah mengucapkan itu burung pipit betina terbang mendahului si jantan ke pohon pinus yang lebih tinggi di sisi utara. Burung pipit jantan seketika juga mengikutinya. Namun sebelum burung pipit jantan mengepakkan sayap, ia sempatkan sejenak membuang kotorannya di ranting pohon cemara itu.
"Kurang ajar, " ucap mereka hampir bersamaan.
Dan dari langit, seperti suara gemuruh, makhluk hidup di bumi seperti diperdengarkan suara.
"Aku tidak menciptakan kalian untuk saling mendengki. Melainkan untuk saling mengenal."
Yogyakarta, awal agustus 2021.
Mantap...lanjutkeun...
ReplyDelete