Skip to main content

Rendezvous bersama Ratimaya dalam Dongeng Selepas Hujan

 

Video pertunjukkan bisa dilihat di sini

Beberapa pohon dan guguran daunnya hadir pada lanskap itu. Ratimaya berpenampilan sederhana saja. Dan hujan, dalam dongeng itu, menjatuhkan diri bersama-sama. Dan saya, mungkin juga pemirsa semua, basah oleh keindahannya.

Selanjutnya adalah ingatan, permenungan, dan kegembiraan. Bagi saya, dongeng selalu unggul. Maksudnya, ia akan selalu menjadi medium ampuh penyampaian pesan yang nyaris tanpa tanding. Dongeng memungkinkan semua kemungkinan. Dongeng melekat seperti lem ghaib yang menempel pada memori kita.

"Mendongeng bersama Ratimaya."

Tajuk awalan itu yang sering Ratimaya gunakan dalam memulai dongengnya. Dan sejak kalimat itu juga, ia seketika menjadi bukan bagian dari dunia ini. Sukmanya hadir menjelma pendongeng ulung yang sudah seperti melewati ribuan musim pada dunia, sekaligus ia bawa dunia yang bermacam-macam itu, pada kita. Beberapa kali ia hadirkan gunung, sungai, dan lautan yang membentang pada ingatan terdalam kita. Dan seperti kasus 'Selepas Hujan', rasanya kita seakan dihadapkan langsung pada gugusan mendung, wangi tanah, suara derai hujan, bahkan percakapan kecil dan langsung di antara mereka.

Ratimaya seperti kupu-kupu dalam teori Butterfly Effect dari Edward Norton Lorenz. Kepakan sayapnya menjadi gelombang kepingan cerita yang berdebur: tersusun, terpencar, dan tersambung dari pemandangan kawanan binatang yang rentan, pohonan yang berakar sabar, juga gugusan gunung dan guyuran hujan yang berkelindan dengan percakapannya masing-masing.

Malam itu Ratimaya berkabar dan mengirimkan tautan pertunjukannya di Youtube. Saya menyaksikan dari layar HP untuk kemudian menyimaknya dengan khidmat. Nampak di sana, Tiga pemusik 'Selepas Hujan' memetik senar dan dawai, beberapa origami menambah kesan yang intim, lalu Ratimaya, seperti yang saya sampaikan sebelumnya: menjelma kupu-kupu pendongeng yang magis.

Lantunan nada yang mengalun seketika membekukan momen itu. Di imajinasi saya, dunia baru perlahan membentuk dan menyusun puing serta reruntuhan bangunan yang seperti telah lama ditinggalkan. Ia hadirkan tokoh-tokoh ajaibnya: tetes hujan, pohon yang terluka, dan tentu saja: kelompok manusia yang seringkali menjadi penyebab berbagai permasalahan di dunia.

Perlahan dan pasti, suara Ratimaya mulai memecah udara. Terlihat sekali olah vokal yang mengagumkan dari berbagai tinggi-rendah nada yang dikeluarkan. Ia menanggalkan mikrofon untuk mengisahkan dongengnya. Ia meliuk kesana-kemari seperti Haruki Murakami ketika menggambarkan 'orang kecil' sedang membuat kepompong udara. Ratimaya dengan tangan terampilnya mengguyurkan hujan, merajut mendung pada dimensi yang entah. Sedangkan di bumi yang kita tinggali, langit dunia sedang begitu teriknya.

Albert Camus mungkin mengatakan kisah cinta terbaik sampai detik ini belum dituliskan, namun Ratimaya mungkin sepertinya abai saja dan tidak memperdulikan itu. Ia terus saja melisankan dongengnya. Menghidupkan tokohnya. Melintasi berbagai pendengarnya yang beragam usia. Di dunianya, 'Selepas Hujan' adalah kisah lain tentang semesta. Kisah itu akan menjelma nubuat lain ketika hujan turun. Kisah itu akan menjadi ingatan yang manis pada pengetahuan tentang kumulonimbus dan kecepatan cahaya yang bergegas meninggalkan kecepatan suara.

Selebihnya, 'Selepas Hujan' adalah repertoar 30 menit yang berlalu dan selalu layak diulang. Biasanya, maknanya akan berkembang. Seiring waktu, seiring suasana, dan seiring berbagai pengalaman yang menjejal kita untuk mengenang.

Ratimaya dan Tiga pemusik negeri hujan itu saling berbagi kelengkapan. Mereka mengantarkan 'Selepas Hujan' pada pemirsanya dengan tenang. Setenang panas pada api. Setenang denyut pada nadi.

Dan di luar itu semua, Ratimaya adalah teman yang akrab, baik, dekat, sekaligus erat. Ridlo atau Samanesna yang awal mula memperkenalkannya kepada kami. Mereka saling bercerita perihal proses kreatif membacakan dongeng, merespon dengan lagu, serta merawat perkawanan yang begitu mengagumkan.

Ratimaya, Samanesna, dan Anak-anak Zaman juga saling berbagi panggung dan tampil bergiliran di malam ulang tahun Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) yang ke-7. Bahkan Ratimaya sempat mengejutkan kita dengan mengajak Levi, anak didik P3S dari kampung Karangjati ketika membawakan dongengnya. Levi juga mengimbanginya dengan kelucuan dan kepolosan yang menggemaskan.

Pada akhirnya, cepat atau lambat, Rendezvous ini tentu akan terus terulang. Entah lewat dimensi yang bernama dunia digital atau lanskap kenyataan yang banal. Saya tentu juga selalu siap menunggu Ratimaya mengalbumkan dongengnya dalam bentuk kaset atau lembar buku yang tebal. Dongengnya, setahu saya, sudah hidup, dan memang harus terus hidup, mewarnai kehidupan, menghidupkan kemanusiaan.

Dan hujan, seperti yang Silampukau katakan di lagu Puan Kelana, "Toh sama menakjubkannya. Di Paris atau di tiap sudut kita berada (Lirik aslinya: Surabaya).

 

Yogyakarta, 13-14 Desember 2021

 

 

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya