Skip to main content

SEKILAS TENTANG KEBENARAN : UMUMNYA ATAU BAGAIMANA MESTINYA


Kebenaran adalah semacam kekeliruan
yang tanpanya, kita tidak bisa hidup
(F. Neitschze)
            Kebenaran itu relatif, doktrin semacam ini mengakar pada beberapa orang yang membenarkan kebenaran menurut pandangannya. tak terkecuali kesalahan yang akhirnya dibenarkan dan diimani bersama-sama. Apakah hal semacam ini salah? oh, belum tentu. karena kita semestinya mempertanyakan kembali, apakah kebenaran itu memang benar-benar relatif?
            karena Kebenaran, orang-orang berteriak menyuarakannya, menyerang yang dianggap salah, dan membunuh orang-orang yang tidak berada didalamnya. sungguh mulia sekali kebenaran seperti ini. bukankah begitu?
            Kita mungkin selalu punya konsepsi tentang kebenaran. atau semacam hal yang kita benarkan. mungkin juga semua yang kita lakukan memang sepatutnya kita benarkan, karena kebenaran itu relatif. jadi tidak ada yang salah, oh, sungguh indah sekali hidup. menjalankan kebenaran tiap waktu. tak perlu khawatir kalau berbuat kesalahan. surga (jika pun ada) sudah terjamin, karena mungkin juga benar, tidak ada kehidupan setelah kematian. Bagaimana mungkin hal yang berbeda bisa benar secara bersamaan? entahlah, mungkin juga benar, kita semestinya harus bertanya pada rumput yang bergoyang.
            Kebenaran secara umum, kebanyakan dimaknai orang-orang adalah apa yang dianggap benar dan kemudian dibenarkan. filosofis sekali tentunya, sebagai bukti manusia bereksistensi yang mempunyai kebebasan untuk menentukan atau menganggap apa saja terserah menurut pandangannya, bahkan lebih jauh sartre mengagungkan kebenaran dan kebebasan dengan menempatkan orang lain sebagai Neraka. kemudian ada pula ungkapan “kita harus membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. lalu, yang salah dan benar itu seperti apa ? menurut siapa? jangan-jangan kita selama ini memang membenarkan apa yang kita sukai dan menyalahkan apa yang tidak kita sukai, karena memang kita sendirilah penentu kebenaran, bukan orang lain, juga bukan Tuhan.
            kebenaran hanya ada di langit, di bumi hanyalah palsu. ungkapan soe hok gie di catatan hariannya. lalu, apakah kebenaran akan datang, jika hujan turun? kita mungkin akan mudah menyaksikan sejarah kebenaran yang membingungkan pada tiap tokoh sejarah yang mewakili zamannya. seperti Plato ketika membenarkan dunia idea, dia memaparkan bahwasanya dunia nyata ini sebenarnya adalah palsu, karena dunia nyata hanya sedikit cerminan dari dunia idea. jadi tidak perlu khawatir hidup di dunia ilusi ini. kurang lebih seperti itu plato berkhutbah ribuan tahun silam. kemudian muncul lagi tokoh rasionalisme, dengan jargonnya yang terkenal “cogito ergo sum”  aku berpikir maka aku ada. siapa lagi kalau bukan Rene Descartes, dia tidak mau menganggap sesuatu itu benar sebelum diuji secara rasional. jadi, semua hal harus diuji terlebih dahulu, karena yang harus kita lakukan pertama kali adalah meragukan segala sesuatu. contohnya meja ini belum tentu benar meja, buku ini belum tentu benar buku. segala sesuatu harus diragukan sebelum dibenarkan.
            kebenaran secara umum terjebak dalam konsep idea (pemikiran). Seperti dikatakan Karl Marx, “Para filosof hanya menginterpretasikan dunia dan kebenaran dalam berbagai cara; masalahnya adalah bagaimana mengubah dunia dan menerapkan kebenaran itu.”  sungguh tidak berimbang dengan penuturan voltaire, “takhayul membakar dunia dan filsafat memadamkannya.” jangan-jangan filosof setelah memadamkan takhayul kemudian selesai, tidak membangun peradaban kembali. lalu apakah kebanyakan filosof yang mengagungkan kebenaran idea itu salah? oh, bisa iya, bisa tidak. sekarang kita mungkin mulai bertanya-tanya bagaimana semestinya kebenaran itu?
            Beberapa teman yang memelajari Filsafat (entah secara singkat, baru memulai, atau juga sok mendalami jauh) mengagungkan kebenaran yang relatif karena menempatkan Filsafat pada kebebasan berpikir dan kebebasan membenarkan tanpa tujuan yang jelas. akibatnya, kebenaran terasa semakin membingungkan dan –barangkali- absurd. menurut hemat saya, hal ini menyebabkan rendahnya sikap dan keberpihakan pada lapangan sosial nantinya. sebagai contoh, apakah keserakahan kaum kapitalis itu benar? apakah memilih presiden yang akan melanjutkan investasi asing dan kembali menyengsarakan rakyat itu benar? jika kebenaran relatif, mungkin menjawab tentu benar menurut mereka, sebagai kebebasannya dalam menentukan pilihan. pertanyaan lebih serius akan muncul, apakah sesuatu hal yang menyengsarakan rakyat itu benar dan bisa dibenarkan, wahai kaum Pemikir? Apakah karena pemikiran akal terlalu agung, sehingga kita tidak bisa menentukan sikap untuk memihak yang lemah? masihkah kita akan meletakkan kebenaran itu di Langit?
            Secara berlebihan, semestinya bisa dikatakan bahwa perjuangan membela kaum yang lemah dan tertindas itu tidak lain adalah kebenaran yang mutlak sekaligus universal. silahkan, jika tetap ingin mengatakan tidak ada kebenaran yang mutlak atau universal, selain kebenaran dalam Agama tertentu. namun, dalam agama tertentu pun kebenaran menjadi perdebatan, karena tidak sepaham dalam memaknai nash tertentu, tidak jarang darah saudaranya berakhir menjadi pementasan kematian.
            kita semetinya punya konsepsi yang jelas tentang kebenaran. bahwa kebenaran itu harus memihak kaum lemah dan tertindas, contoh tertindas karena pembodohan sistem pendidikan, kerakusan kaum kapitalis, media sabun, sampai sampai isu sosial yang tiba-tiba muncul untuk mengalihkan kejadian yang semestinya. kita harus memperjuangkan kaum-kaum yang tertindas karena hal tersebut, sebab kita adalah pewaris peradaban. pejuang kemanusiaan yang akan tetap memanusiakan manusia dan berjuang menghancurkan pihak yang mengkerdilkan kemanusiaan, apalagi dengan dalih kebenaran.
            Kebenaran harus memihak yang benar, mempunyai nilai kemanusiaan, mempunyai manfaat untuk diri sendiri juga orang lain, menegakkan keadilan, dan tidak membiarkan perbuatan menindas dan menyengsarakan kaum lemah berkoar-koar atas nama kebenaran.
            karena manusia punya kebebasan untuk memilih kebenaran, silahkan kita pilih sendiri kebenaran secara umumnya atau secara semestinya! jangan bermain-main dengan pilihan, karena hidup tak segan-segan mengutuk –suatu hari nanti- dengan penyesalan-penyesalan. selamat membuka tabir kesadaran.


jogja, 21 Mei 2014    
           
             

             

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya