Skip to main content

Seputar kebudayaan dan masalah kesejahteraan sosial: beberapa pandangan mengenai peran media dan karya sastra kita


Oleh: MH Maulana

I. Pengantar

Betapa suara WS Rendra sering mengganggu telinga kita (bagi kita yang sering mendengarnya) ...Delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/ termangu-mangu di kaki dewi kesenian... Lalu dilanjutkan Wiji thukul pun juga ikut bersuara ...Apa guna/ punya ilmu tinggi/ kalau hanya/ untuk mengibuli... Suara-suara itu --tentu saja-- mengusik kenyamanan para (Intelektual dan seniman) pemalas. Tapi tenang, semua bisa terjadi di Indonesia. Memang terdengar aneh jika kita kembali merenungkan negeri yang katanya pernah tentram, makmur dan sejahtera ini. Bahkan dalam penggalan sajaknya, Timur Sinar Suprabana bertanya-tanya: ...Dimana kamu/ kekasihku/ dimana kamu/ Indonesia?//

Tapi sayangnya kita tidak sedang membahas siapa tokoh-tokoh itu secara dramatik. Karena kita akan membahas sesuatu yang lain. Sesuatu itu adalah Seputar Kebudayaan dan masalah kesejahteraan Sosial Indonesia. Tentang Mengapa kebudayaan dan kesejahteraan tiba-tiba menjadi sesuatu yang boleh dibilang penting, tentang peran media dan karya sastra kita dalam melihat masalah kesejahteraan, dan tentang mungkinkah pekerja sosial dapat menjadi pembaca dan penulis karya sastra yang baik --atau kalau tidak berlebihan, katakanlah memelopori gerakan sastra kesejahteraan-- sekaligus sebagai penafsir dan penghubung dari realitas yang dijumpainya.

Lalu apa hubungan kesejahteraan sosial dan media atau karya sastra?

Dalam Roman Bumi Manusia, Pramodya Ananta Toer --Penulis Roman yang dekat dengan Realisme Sosialis itu-- menulis: Kau boleh pandai dalam hal apapun, bahkan mencapai deretan sarjana apapun, tapi tanpa mencintai sastra, kau hanyalah binatang yang pandai. Memang kutipan ini terkesan berlebihan, tapi cukup bijak untuk kita renungkan.

Berbicara Indonesia adalah membicarakan pilar-pilar yang ikut membangun negeri yang kaya dengan aroma sedap kretek dan harum kopinya ini. Diantara pilar-pilar itu adalah: Ekonomi, Politik, Teknlogi, Agama, Sosial dan Budaya --dalam hal ini penulis mengkhususkannya dalam peran media --sebagai produk teknologi-- dan karya sastra --sebagai produk kebudayaan.

Lalu bagaimana tentang masalah kesejahteraan?

Maka disinilah penulis mencoba bereksperimen mengenai masalah kesejahteraan, pekerja sosial, dan hubungannya dengan media dan karya sastra. Tulisan ini tentu bukan sesuatu yang luar biasa untuk dibaca atau didiskusikan (kalau tidak mau dibilang tidak penting), alangkah lebih lumayan membaca kitab suci yang katanya bisa menjamin masuk surga itu. Meskipun begitu, tulisan ini tetap mencoba berusaha mengajak pembaca untuk berdiskusi dalam usaha perenungan kemanusiaan beserta persoalannya --dimana penulis sendiri merasa sedikit prihatin menyaksikan beberapa kejadian a-humanis yang terjadi di negeri ini. Walaupun sebenarnya niat penulis menulis ini juga hanya berawal dari hal yang sepele: Ya, membebaskan ide dan kata-kata dari kerasnya tempurung kepala.


II. Pembahasan

II.I. Kebudayaan dan masalah kesejahteraan

Adalah PMKS. Penyandang masalah kesejahteraan sosial. Data kemensos menyebut ada 22 kategori dari 7 bagian.(1) PMKS utamanya merupakan konsentrasi pemerintah pusat bagian kementrian sosial. Namun melihat upaya pemerintah yang kurang maksimal, hadirlah pekerja sosial dari kalangan LSM berdonor maupun independen yang berusaha mengulurkan tangan untuk mereka (para PMKS tersebut).

Kesejahteraan yang diartikan terpenuhinya kebutuhan, rasa aman, rasa nyaman, dan akses informasi itu nyatanya jauh dari jangkauan mereka (PMKS). Sistem kolaborasi feodal, kapitalisme global, dan neoliberal yang begitu eksploitatif semakin menyudutkan mereka di zaman purba yang berkedok modernitas ini. Penindasan sistemik dan mengakar telah membuat kaum PMKS tersebut semakin jauh dari realitas kesejahteraan yang telah lama menjadi mimpi malam mereka.

Kalau pun kemudian ada yang bertanya dimana peran pemerintah, semoga bukan jawaban (hampir abadi) seperti ini yang kita dengar.

"Oh, tenang. Hal ini sudah dirapatkan dan sedang diupayakan. Lagipula yang punya negeri ini kan bukan hanya pemerintah. Tapi kita semua"

"Iya Pak atau Buk, tapi yang menghabiskan dana operasionalnya kebanyakan kan sampean"

Kesejahteraan sebagai ukuran kehidupan rakyat Indonesia --dalam realitasnya-- menimbulkan perbedaan kelas yang mencolok. Jauh-jauh hari Karl marx dan Engels dalam Manifesto Komunis pun sudah menegaskan bahwa Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.(2) Begitu juga yang terjadi di Indonesia, mulai dari perbedaan kelas zaman dahulu antara Brahmana, Ksatria, dan Sudra sampai perbedaan kelas --hari ini-- antara si kaya (dalam hal ini, Tuan tanah, Tuan modal, dan kapitalisme birokrat) dan si miskin. Pertentangan kelas itu juga yang kemudian membentuk perbedaan ukuran kesejahteraan dan kebudayaan masyarakatnya.

Kebudayaan sebagai cipta, rasa, dan karya manusia entah disadari atau tidak telah membentuk kelas kebudayaan masyarakat kota dan desa, membentuk masyarakat kaya dan miskin. Juga telah membentuk ukuran kesejahteraan yang berbeda --meskipun KBBI atau Dinas Sosial sudah menyusun definisinya. Tapi apalah daya kementrian sosial atau kamus besar itu dihadapan para penguasa-- sedangkan kebudayaan kota yang cenderung maju dan konsumtif telah meninggalkan jauh kebudayaan desa yang cenderung penuh kearifan lokal namun tertinggal. Apa tidak ada kearifan lokal di kota? Apa tidak ada kemajuan untuk desa?

Bagi masyarakat Desa yang dekat dengan budaya gotong royong. Kesejahteraan bisa jadi diukur dengan tercukupinya kebutuhan. Tapi bagi masyarakat kota bisa jadi kesejahteraan diukur dengan terpenuhinya keinginan.

Lalu bagaimana dengan para penguasa di Desa dan kaum Penyandang masalah kesejahteraan di kota?

Ya, siapapun dia. setiap penguasa telah membentuk kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Sedangkan mereka yang dilumpuhkan dan tertinggal akan berusaha mati-matian untuk sekadar bisa memenuhi kebutuhannya.

Sebelumnya perlu kita garis bawahi dulu mengenai perbedaan budaya dan tradisi. Prie GS mencontohkan jika membuang sampah sembarangan adalah budaya, maka mengolah sampah menjadi kompos itu adalah tradisi.

Lebih lanjut, kebudayaan --tentu saja-- mempunyai hubungan yang erat dengan kesejahteraan. Contoh: masyarakat termarginal --yang juga masuk golongan PMKS-- seperti eks-PKI dan Ahmadiah yang justru telah dilabeli haram atau sesat oleh penguasa. Sehingga penguasa yang telah mengonstruksi budaya tersebut tentu saja semakin membuat mereka jauh dari kesejahteraan dan keberfungsian sosialnya. Lalu, peran budaya media populer yang telah dicetak penguasa tidak lebih hanya semakin menunjukkan gaya hidup yang hedon dan glamour, acara gosip selebritis, sinetron, dan iklan mewah telah mendominasi pertelevisian kita. Kenakalan reja semakin meningkat, pembunuhan dan pemerkosaan merajalela, dan perceraian --karena menyaksikan selebritis kita itu-- menjadi biasa.

Tapi tidak semua media, kesejahteraan dan kebudayaan kita seperti itu. Karena masih ada beberapa orang baik yang masih mau peduli dengan kemanusiaan. Diantara mereka itu adalah orang-orang yang turun ke lapangan, berkarya dengan tujuan luhur, dan berjuang untuk melawan setiap pembodohan dan penindasan.

Semoga bisa terus bertahan, Kawan

II.II Media dan Sastra memandang masalah Kesejahteraan

II.II.I. Media kita, Televisi dan masa depan kesejahteraan

Media massa --pada mulanya-- adalah institusi yang memberikan informasi dan hiburan yang edukatif kepada masyarakat. Namun dalam perkembangannya, kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana media (dalam hal ini: televisi dan internet) juga ikut menyumbang maraknya masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Media sendiri merupakan teropong masyarakat untuk melihat realitas yang berada di sekitarnya atau yang jauh berada disekitarnya. Masyarakat bisa menyaksikan masalah sosial, ekonomi, politik atau bahkan sekadar hiburan dari peran media. Tak jarang dari masyarakat ikut meniru dan mencibir dari apa yang menjadi produk media.

Lalu apa hubungan media dan masalah kesejahteraan sosial?

Masalah-masalah sosial
kemasyarakatan hari ini mulai sangat kompleks. dalam situs Solopos dijelaskan bahwa tindak kekerasan naik cukup signifikan dari 1.626 kasus pada 2008 menjadi 1.891 pada 2009 dan terdapat 891 kasus
kekerasan diantaranya terjadi di lingkungan sekolah (Solopos.com/2009/channel/nasional jumlah-kasus-kekerasan- anak-di-indonesia cenderung-
meningkat-1894). Media kita hari ini sebagai kontrol sosial pun nampaknya tidak begitu efektif melakukan tugasnya. Media yang dimiliki elit dan pengusaha yang bekerja sama dengan pemilik modal itu justru semakin bersemangat mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. All about market, Bro.

Nurani soyomukti dalam membongkar Aib seks bebas dan hedonisme selebritis (2010), Para pembela pasar utama dan yang paling kelihatan dihadapan mata kita memanglah mereka yang tampil di TV dan menyuguhkan berbagai penampilannya agar kita merasa bahwa budaya pasar begitu indah dan seakan melupakan keindahan sejati itu sendiri. "Belilah produk ini, itu! Tirulah artis ini itu!", begitulah doktrin utama yang dibombardirkan ke kita.(3)

Tanpa disadari media yang berorientasi market itu membuat orang semakin pragmatis. dalam bahasa Max Horkheimer, pemikir neo- marxisme, "Pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung. Semakin media memberikan propagandanya kepada pasar dan segala hal yang praktis, maka semakin tumpul pula daya kritis masyarakat.

Kejahatan yang tampil di media kemudian bisa jadi sesuatu yang sah-sah saja di mata masyarakat. Perceraian yang awalnya tabu kemudian menjadi hal yang biasa --dan boleh dicoba. Begitupun KDRT. Toh sinetron dan acara sejenisnya juga sudah lama menunjukkan carannya.

Kemiskinan dan pengangguran semakin merajalela. Tapi acara televisi masih saja mengumbar reality show dan sinetron yang menunjukkan realitas berbeda dari bangsa ini. Berangkat sekolah menggunakan mobil, pernikahan dengan milyaran rupiah, dan politisi penjilat menjadi warna yang dominan di televisi kita. Hal itu pun masih ditambahi acara orang miskin yang tiba-tiba kaya. Entah lewat cara rumahnya dibedah atau dikasih uang se-karung. Sungguh solusi pengentasan kemiskinan yang ajaib (kalau tidak mau dibilang tolol). Beberapa kelompok miskin dan terlantar tentu berhak menyimpan mimpi tiba-tiba kaya itu di kepalanya.

Betapa media kemudian juga turut menyumbang selebritis-selebritis seksi dan mengumbar nafsu. Laki-laki dewasa atau remaja yang sering menyaksikannya bisa jadi mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih. Mengakses internet 18 tahun keatas atau bahkan mencari perempuan untuk memuaskan hawa nafsunya. Bagi laki-laki dewasa tentu ini bisa menjadi faktor retaknya hubungan rumah tangga. Atau bahkan dalam level lebih jauh bisa terjadi perceraian. Bagi remaja, bisa jadi melakukan kejahatan seksual sebagai pelampiasannya. Kasus seks di bawah umur dan narkoba meningkat, Sodara. Tapi kita toh tidak sedang merayakan jumlah PMKS yang bisa jadi bertambah angka!

Meskipun demikian. tetap ada beberapa acara televisi yang baik untuk ditonton. Semacam acara jejak sejarah, berita aktual, dialog kritis, dan kabar seputar dunia pendidikan. Tapi --dalam kenyataannya-- memang sulit menemukan media yang netral, berita sendiri pun bisa jadi harus yang sedang ramai di Pasar. Kasus beresiko seperti Kajian kritis teluk Benoa, polemik tanah daerah keistimewaan, tindak lanjut aktivis yang hilang, marginalisasi orang ahmadiah, label buruk untuk eks-PKI, atau konflik tanah dan penindasan buruh barangkali bukan menjadi sesuatu yang menarik untuk dijadikan produk media pasar.

Adalah Joshua Openheimer. Sutradara film dokumenter Senyap dan Jagal. Ia bisa jadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana seseorang dengan niat menghasilkan karya yang baik untuk kemanusiaan justru produknya dilabeli semacam barang haram. Usaha Joshua untuk mengungkap korban PKI sebagai PMKS, korban bencana sosial, korban kekerasan, dan rekayasa politik penguasa justru mendapat reaksi penolakan keras dari kaum radikal agama dan demokrasi. Joshua adalah salah satu contoh kecil orang yang memanfaatkan media dokumenter karena televisi bukan media yang baik untuk mengabarkan kebenaran tersebut.

Sepertinya sudah saatnya kita mengkritisi televisi dan mulai banyak membaca buku. Sebuah studi yang dilakukan oleh the National Opinion Research Center dari tahun 1974 sampai 1990 Menemukan bahwa "menonton televisi memperburuk kosakata, sedangkan membaca koran memperbaikinya."(4)

Jika media mampu menyumbang masalah kesejahteraan sosial. Tentu media mestinya juga bisa menyumbang upaya penanggulangan masalah kesejahteraan sosial. Walaupun televisi --sebagai produk media-- belum sanggup melawan kekuatan pasar (tapi kita berharap ada kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia yang kemudian bisa membuat pertelevisian kita lebih baik), masih ada media lain untuk bersuara. Masih ada Internet, Video Dokumenter, Pamphlet, Buku, Jurnal, atau media apapun yang bisa digunakan untuk mengupayakan yang terbaik dari masalah kemanusiaan. Terlebih ikut membantu dalam mengatasi Penanggulangan masalah Kesejahteraan sosial.

II.II.II. Sastra kita, Usaha membaca kesejahteraan sosial dari karya fiksi

Karya sastra dalam buku Filsafat Sastra karangan DR. Suwardi disebutkan bahwa jauh sebelum masehi, Plato dalam Republik mengartikan Sastra sebagai cermin, gambaran, atau refleksi kehidupan bermasyarakat.(5) Namun pengertian tersebut bukanlah definisi mutlak dari sastra. Bisa jadi mendefinisikan sastra sama halnya dengan mendefinisikan filsafat. Banyak versi. Tapi kita tidak sedang memperdebatkan soal itu. Kita akan mencoba membahas sejauh mana peran karya sastra dan sumbangsihnya untuk kehidupan sosial.

Membicarakan Indonesia. Dalam beberapa karya sastra tanah air, kita bisa menjumpai banyak tokoh. Baik sebagai Penyair, Novelis, Cerpenis, Penulis Esai dan Kritikus. Beberapa dari mereka terkenal dengan gayanya masing-masing atau digolongkan juga dalam angkatannya masing-masing. Namun tentu tidak tempatnya membahas mereka semua disini (alasan kalau penulis malas dan capek untuk membahasnya).

Masalah sosial tak jarang menjadi motivasi menulis bagi para penulis karya sastra --selain cinta, kepedihan, dan patah hati. Dalam karya puisi contohnya, kita mengenal nama Populer Chairil Anwar, WS Rendra, dan Wiji Thukul untuk merepresentasikan masalah sosial dalam karyanya. Di ranah Cerpen, ada nama populer Putu Wijaya, Agus Noor, Seno Gumira Ajidarma dan Puthut EA, sedangkan di Ranah novel ada nama Romo Mangun Wijaya, dan Pramodya Ananta Toer.

Penulis dalam hal ini mencoba mengkhusukan pada karya sastra tanah air abad 21, pada beberapa cerpen dan novel yang mempunyai unsur sosial dan historis.

1. Kumpulan Cerpen Puthut EA - Drama itu berkisah terlalu jauh (2014)

Buku ini berisi 15 cerpen karya Puthut dari tahun 2003 sampai 2009. Karya Fiksi yang sarat dengan nilai sosial ini menceritakan beberapa peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia yang disajikan secara fiktif dan elaboratif.

Seperti dalam cerpen yang berjudul Berburu Beruang. Disini Puthut mencoba menggambarkan salah satu bagian PMKS, kecacatan mental dan korban kekerasan sosial. Burhan yang diceritakan sebagai mantan aktivis militan yang pernah terlibat malari dan aktif di dunia pergerakan selama 30 tahun itu mengalami gangguan kejiwaan karena kebenciannya pada rezim penguasa dan pernah beberapa kali dipenjara sekaligus disiksa. Puthut menggambarkan imajinasi Burhan secara menarik. Dia menceritakan imajinasi Burhan yang sedang berburu beruang --yang pada kenyataannya adalah pohon pisang. Lalu dalam cerpen BAPA, Puthut menceritakan salah satu bagian PMKS yang lain, korban penyalahgunaan NAPZA. disini Puthut menggambarkan bagaimana gembong narkoba dan strategi taktisnya dalam hidup bersosial. Lalu dalam cerpen Perempuan Tanpa Nama, Puthut juga masih menceritakan bagian PMKS yang lain. Yaitu wanita tuna susila. Dimana Puthut memposisikan tokoh utama sebagai seorang WTS karena alasan kemiskinan yang dimana keperawanannya pertama kali direnggut oleh orang-orang kapal. Kondisi santai dan sisi baik seorang WTS ditampilkan Puthut dalam cerita ini. Terlebih sampai tokoh utama hanya bisa tertawa ketika menyaksikan pelanggan setianya ternyata adalah aktor politik di media massa.

Selebihnya dalam buku ini. Cerpen Puthut banyak menceritakan korban PKI dari bencana sosial yang dibentuk oleh rezim Orba. Puthut adalah salah satu dari sekian banyak cerpenis yang tidak hanya menekankan akar sosial historis dalam cerita. Tapi juga mampu mengolahnya dalam diksi yang mempesona.

2. Kumpulan Cerpen dan fiksi mini Agus Noor - Cerita buat para kekasih (2014)

Buku ini berisi 33 karya fiksi yang tergolong acak. Dalam beberapa judul cerpen dan karya fiksi mini kita bisa menemukan tema misteri dan sosial yang dijadikan pembangun cerita. Dalam buku ini, Agus noor memang banyak mengolah cerita secara simbolik, tetapi tidak serta merta kehilangan esensinya.

Dalam cerpen Nyonya Fallacia, Agus Noor menceritakan salah satu bagian PMKS, Wanita rawan sosial ekonomi. Tokohnya Ny. Fallacia. Dia adalah janda yang cenderung tertutup sehingga Membuat orang lain menaruh curiga kepadanya. Agus noor mengemas cerita dengan penuh misteri sampai menceritakan realitas Ny. Fallacia sebagai Janda. Lalu dalam cerpen Perempuan berkuteks merah, Agus noor menceritakan bagian PMKS yang lain. Yaitu Keluarga bermasalah sosial psikologis. Dimana Nay sering mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya. Secara tersirat, Agus noor dalam cerita itu menyinggung bahwa Kecantikan tidak menjamin kebahagiaan dalam perkawinan. Terbukti dari Nay yang selalu mencoba sembunyi dan balas dendam dari perlakuan suaminya.

Selebihnya cerita-cerita dalam buku ini banyak membahas kunang-kunang sebagai simbol dari berbagai macam peristiwa sejarah berdarah yang mengakibatkan bencana sosial negeri ini. Seperti cerpen Requiem kunang-kunang yang menyinggung kerusuhan Poso dan Kunang-kunang di langit Jakarta yang menyinggung mengenai kerusuhan krisis moneter 1998.

3. Medulla Sinculasis - Paox Iben (2011)

Novel yang ditulis secara kritis dengan tema daerah Lombok ini menceritakan beberapa kebobrokan pemerintah daerah tertinggal dan LSM dengan segala permainannya. Adalah Nuruda. Tokoh utama dalam cerita ini yang berjuang dalam kerja organisir dari akar rumput sampai datangnya pengkhianatan-pengkhiatan dalam hidupnya.

Membaca Novel ini kita akan mendapatkan pemikiran kritis dari penulis yang disisipkan dalam penggalan paragrafnya. Hal ini merupakan kajian yang menarik. Sebab melihat dunia kesejahteraan sosial Industri yang dekat dengan perusahaan juga disinggung oleh penulis. Semisal dalam pernyataan ...Lembaga donor... yang disupport oleh perusahan-perusahaan besar di dunia atau negara-negara makmur yang mengeruk keuntungan berlimpah dari negara-negara miskin, bodoh tetapi kaya sumber daya alam seperti Indonesia... Sebenarnya hanya sebagian kecil dari keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut yang dikembalikan ke masyarakat. Tidak sampai 1%... (halaman 18). Lalu lebih jauh penulis yang sepertinya sudah akrab dengan dunia LSM itu pun menulis dan mengkritisi Lembaga yang hanya mencari proyek, proposal, dan jarang sekali yang berbasis kemandirian. Hal ini juga menjadi menarik untuk Pembaca mengkritisi kembali apa gagasan yang telah ditelorkan paox. Terlebih bagi Akademisi yang bersangkutan.

Paox dalam novel ini juga mempunyai beberapa gagasan menarik dalam kasus sosial, seperti Aborsi.

...Tapi menggugurkan kandungan, menurutnya, adalah tindakan paling tidak bertanggung jawab... Tersebab bukan hanya membunuh janin dalam kandungan yang tidak berdosa itu saja, tetapi juga membunuh daya hidup!... (halaman 48)

Lebih lanjut Paox juga mengkritisi masyarakat pesisir, kebobrokan birokrasi daerah, dan penipuan karya seni sesama pelukis dalam alur ceritanya.

4. Pulang - Leila S. Chudori (2012)

Novel berlatar belakang tragedi Indonesia 1965, Prancis 1968, dan Indonesia 1998 ini merupakan karya sastra dengan alur sejarah dan masalah sosial yang kompleks. Dalam novel ini ada beberapa PMKS yang juga disinggung dalam tokoh-tokohnya, semisal Dimas Suryo sebagai Pekerja Migran bermasalah sosial --karena mempunyai latar belakang eks-Tapol, Surti Anandari sebagai wanita rawan sosial ekonomi --yang ditinggal mati suaminya, dan Kenanga sebagai Korban tindak kekerasan --yang pernah diintimidasi dan disiksa oleh Intel.

Secara singkat yang menjadi menarik dalam novel ini adalah pembaca diajak langsung menikmati kondisi psikologis tokoh-tokoh dalam cerita. Lebih lanjut tentu suasana yang digambarkan Leila dalam cerita tokohnya --yang berhubungan dengan PMKS tersebut-- bisa menjadi referensi Pekerja Sosial dalam menghadapi kasusnya.

Kembali pada apa yang disinggung di awal bab. Bahwa Sastra kita, pada beberapa kajiannya mempunyai hubungan dengan dunia kesejahteraan sosial. Meskipun boleh dibilang kurang logis, kurang sistematis, dan kurang realistis. Tapi kita tahu pada posisi mana sastra berbicara. Ia adalah karya fiksi yang mencoba berhubungan sedekat mungkin dengan kenyataan. Bukan lalu menggantikan kenyataan.

Pada ranah kajian sastra yang mendalam kita nanti akan mengenal istilah realisme sosialis dan humanisme universal. Realisme sosialis bisa diartikan sebagai karya untuk menyuarakan dan membangkitkan kaum yang lemah dan tertindas. Sedangkan humanisme universal pada tataran kebebasannya sering ada pernyataan semacam seni untuk seni dan sastra untuk sastra.

Yang manakah sastra kita?

III. Penutup

III.I. Karya Sastra kesejahteraan Sosial, mungkinkah?

Sebagaimana karya sastra yang lahir dari realitas sosial. Barangkali karya sastra kesejahteraan sosial bukanlah menjadi suatu pembeda. Tetapi bisa jadi lebih khusus, spesifik, dan tematik. Persoalan yang dijadikan ide utama cerita bukan masalah sosial secara umum --meskipun dalam ranah praksisnya bisa dihubung-hubungkan.

Beberapa karya sastra itu misalnya Narasi empiris kemiskinan, gelandangan, anak jalanan, kritik tahapan asasemen, intervensi, dan lain-lain yang disusun menggunakan bahasa sastrawi.

DR. Suwardi dalam Filsafat Sastra juga mengatakan teoritikus sastra semacam seperti Wellek dan Warren pun mengatakan bahwa sastra dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia, tipe-tipe watak, dan membuka jalan pikiran dan motivasi pembacanya.

Itupun jika Sastra kesejahteraan sosial menjadi sesuatu yang mungkin

III.I Pekerja sosial sebagai pembaca dan penulis karya sastra yang baik

Melihat beberapa karya sastra bermutu kemanusiaan tinggi dan perjumpaan pekerja sosial dengan realitas yang dihadapinya tentu menjadi menarik jika kemudian memunculkan inisiatif peksos untuk menuliskannya dalam karya sastra bertema kesejahteraan sosial. Banyak sekali karya sastra yang membahas masalah sosial di Indonesia. Katakanlah sastra kesejahteraan sosial sudah menjadi sesuatu yang mungkin. Maka, pekerja sosial yang hendak menulis karya kesejahteraannya bisa membaca karya sastra yang lain untuk memperkaya diksi dan gaya bahasa. Hal ini untuk menghindari penulisan karya sastra yang terlalu mementingkan data dan substansi, tapi melupakan ekstetika.

Pembaca karya sastra yang baik juga penting untuk mengkritisi masalah kemanusiaan. Apakah sebuah karya hanya membahas kemanusiaan sebagai ide penghias atau ide utamanya. Membaca dalam hal ini juga baik untuk ikut kerja membangun budaya peradaban.

III.III. Pekerja Sosial sebagai Penafsir dan Penghubung

Karya sastra seringkali memang fiktif. sehingga tafsir multi-dimensi selalu terbuka. Begitupun kemampuan pembaca menafsirkan sejauh mana esensi karya sastra yang dibacanya. Apakah karya sastra tersebut bisa memberi nilai kemanusiaan yang lebih baik atau tidak. Dalam tafsir yang lain, apakah aktifitas kesusastraan ini juga bisa ditarik ke akar rumput masyarakat kelas bawah --sebagai penghuni mayoritas peradaban Indonesia. Sehingga mereka (masyarakat akar rumput dan PMKS tersebut) bisa ikut serta dalam kerja kebudayaan meningkatkan daya kritis, kemauan, kemampuan dan ketrampilan potensinya

Lalu, media yang telah kita kritisi di awal pun bisa menjadi aktifitas penghubung antara pekerja sosial dengan yang lain. Semisal karya sastra kesejahteraan sosial bermutu tinggi yang dihasilkan pekerja sosial dikemas menjadi naskah Teater, Skenario film fiksi atau dokumenter, dan kumpulan tulisan yang dibukukan.

Pekerja Sosial sebagai penghubung ini juga yang diharapkan bisa mengkritisi media, karya sastra, televisi, dan mendampingi PMKS untuk mewujudkan kesejahteraannya.

Sebagai penutup, memodifikasi penutup manifesto komunisnya Karl Marx dan Engels, bahwa Kaum Penyandang masalah kesejahteraan Sosial tidak akan kehilangan apa-apa kecuali rantai yang membelenggu mereka. Kaum Pekerja Sosial sedunia. Besatulah!


Diketik dengan hape. Panti. 20 Maret 2015

***

CATATAN

(1). https://www.facebook.com/notes/karang-taruna-banten/7-kategori-22-jenis-pmks-penyandang-masalah-kesejahteraan-sosial/484231914922365/ (Diakses tanggal 18 Maret 2015)

(2). Karl Marx dan Engels. Manifesto komunis. Jakarta: penerbit yayasan pembaruan, 1959, hlm.49

(3). Nurani Soyomukti, membongkar Aib seks bebas & hedonisme kaum seleriti. Bandung: penerbit Nuansa, 2010, hlm. 90

(4). Ibid, hlm. 280

(5). Suwardi Endraswara. Filsafat sastra. Yogyakarta: penerbit Layar kata, hlm. 67

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya