Skip to main content

CEPAT SEMBUH, NIK

Senin(8/6) ditengah perasaan malas-malasnya mengerjakan tugas. Tiba-tiba Bu Dewi sms. Niko kecelakaan, Mas. Cukup parah. Kapan mas kita bisa menjenguk. Begitu kira-kira sms Bu Dewi.

Saya yang dalam posisi 'edan' menyelesaikan tiga tugas (berat) kuliah tiba-tiba menjadi semakin tidak ingin mengingat kuliah --karena memang juga sudah tidak bernafsu dengan tugas kuliah.

"Gimana Buk? Niko di rumah sakit atau di rumah?"

"Di Rumah, Mas"

"Lha kesana jam berapa, Buk?"

"Sore saja"

"Oke, Buk."

Niko sendiri adalah salah satu adik-adik dari sekolah rakyat pinggir sungai Codhe Sendowo. Dia kelas 3 SD. Dan dikabarkan kecelakaan bersama sepupunya minggu. Dalam kasus tabrak lari. Begitu kurang lebihnya

Dan saya kembali memandang tugas-tugas di layar Laptop. Suram.

Hari itu. Tiga tugas saya kebut sambil malas dan tiduran. Meskipun pada akhirnya saya tidak percaya kalau tugas itu selesai. Cukup ekstrim memang. Sehingga terkadang saya cukup ceroboh untuk berniat mengulanginya lagi.

Tugas Metodologi penelitian yang cukup tepat waktu dikumpulkan tidak dibarengi dengan kesuksesan mengumpulkan tugas ujian kuliah Manajemen organisasi pelayanan kemanusiaan(MOPK) yang telat (sebenarnya masih 5 menit), saya tidak ambil pusing. Tugas Intervensi harus selesai. 20-an halaman yang harus diketik, masih jauh dari kata cukup. Pak Aryan selaku dosen MOPK berhasil dihubungi dan sudah fix pada tugasnya. Yes!

Dan Tugas Intervensi lah yang hampir melupakan saya pada hidup. Batas akhir pengumpulan jam 16.00. Dan tugas intervensi saya lumayan selesai jam 15.58. Sehingga softcopy segera saya print dan lembar yang kurang gambar, saya putuskan menggambarnya menggunakan bulpen. Cukup memalukan memang. Ditambah sampul tugas yang boleh dibilang telanjang tanpa jilid.

Selepas dari kampus saya baru ingat. Menjenguk Niko. Dan mobil plus sound system Mas Hepi ternyata juga belum dikembalikan. Segera saya hubungi Ali untuk mengantarkan mobil dan sound-nya. Perjalanan ke kalasan-Maguwo yang beberapa kali tersesat --karena kekhilafan dan kealpaan saya-- membuat perjalanan molor. Sehingga perjalanan ke Sendowo menunjukkan pada jam 8 lebih lumayan. O mai gat!

Sesampai di Sendowo. Hari sudah cukup malam. Bu Dewi mengusulkan besok saja.

Selasa(9/6) tidak ada ujian kuliah. Hari yang cukup menyenangkan.

Sore hari yang lumayan mendung mengiringi perjalanan bersama vivi --tanpa satu helm-- dari UIN ke Sendowo. Beberapa kali kami menghindari polisi (tidak tidur) dengan berjalan kaki satu orang. Cukup sukses memang. Sesampai di Sendowo. Anak-anak dan pengajar sudah cukup ramai.

"Mas, Ayo bulu tangkis"

"Mas, Ayo njenguk Niko"

"Mas, Ayo Jadian" (yang ini sebenarnya tidak ada)

Melihat Bu Dewi yang belum di Rumah membuat kita memutuskan belajar(bermain) bulu tangkis dulu di Halaman TK.

Tim dan undian selesai dibuat. Saya jadi wasit. Priiit.

Beberapa pertandingan menarik dari anak dan pengajar cukup membuat lelah sore yang murung tersebut. Saya sedikit kecewa. Undian saya belum keluar. Padahal saya ingin sekali bermain. Yoweslah, rapopo.

"Ayo Mas, Njenguk Niko."

"Oke. Bar Maghrib sekalian."

Anak-anak terlihat sangat kompak dan setia kawan. Setelah maghrib dengan beberapa pengajar dan semua anak kita berangkat ke rumah Niko. Acara menjenguk Niko ini cukup mendadak, pasalnya saya belum memberi kabar ke semua pengajar karena kegiatan dan tugas kuliah yang cukup menindas kemanusiaan.

Akhirnya acara menjenguk Niko dadakan part 1 kami lakukan. Saya, Daus, Asep, Vivi, Yeni, Riska, Afri, Rahma, Eka, Bu Dewi dan Sri --yang beberapa kebetulan jadual hari selasa-- berangkat bersama anak-anak dengan jalan kaki. Cukup singkat.

Awalnya saya takut dengan Anjing disamping rumah Niko. Meskipun pada akhirnya anjing itu seperti menyadari kedatangan(maksudnya ketakutan) saya dan pergi ke bawah.

Saya tidak bisa membayangkan anak kecil kecelakaan. Apalagi cukup parah seperti yang diceritakan bu Dewi; Dagunya benjol, Gigi depannya rontok, Pahanya bengkak. Serta kakinya dijahit. Apalagi Niko termasuk anak yang cukup aktif. Yang membuat saya sedikit bersalah bahwa beberapa hari yang lalu Bu Dewi mengatakan bahwa Niko ingin bertemu saya. Dan saya belum sempat bertemu dengannya.

Dan benar saja. Niko tergolek lemas di kamar dengan televisi yang memutar acara kartun Adit dan Jarpo. Gigi dan bibirnya luka, beberapa anggota tubuhnya lecet, kaki kanan sekitar pahanya dijahit, Matanya sayu tapi nampak senang melihat kita datang. Anak-anak langsung mengerumuni Niko.

"Cepet sembuh, Nik."

"Iyo, engko ayo gojekan maneh."

"Iyo, Nik. Ndang waras"

Niko hanya tersenyum. Dia masih kesulitan berbicara, meskipun beberapa kali menyahuti pembicaraan. Saya memandangnya cukup kasihan. Saya jadi teringat teman saya SD. namanya Majid. Saat saya dan majid kelas 6. Menjelang ujian, dia kecelakaan yang membuat kakinya retak dan berjalan ujian menggunakan Egrang. Niko pun demikian. Meskipun tidak separah Majid. Niko masih belum bisa berjalan dengan lancar. Dia terpaksa ujian semesteran di rumah.

"Ini bentar lagi sembuh Nik. Tenang ae. Nanti Les lagi. Mainan perkusi lagi." Saya coba menyemangatinya

Dan pengajar-pengajar lain pun demikian.

Setelah cukup lama di kamar yang lumayan sempit, kita memutuskan pamit keluar ruangan. Beberapa yang lain duduk-duduk. Dan Saya mengobrol dengan ayahnya.

"Bapak kemarin sudah bawa Niko ke Rumah Sakit?"

"Pas Niko kecelakaan kemarin, saya itu lagi di Solo, Mas. Akhirnya Langsung memutuskan pulang, katanya yang membawa ke rumah sakit itu mahasiswa. Ndak tahu siapa."

"Lah Ibunya, Pak?"

"Ibunya pas dirumah, Mas. untungnya. Jadi langsung nyusul"

"Kata Dokter gimana, Pak?"

"Ini sudah cukup membaik. Boleh rawat di rumah."

Tapi melihat kondisi Niko yang demikian, saya malah lebih memilih untuk Niko dirawat di rumah sakit dulu, Batin saya dalam hati

Ayah Niko menambahkan bahwa Niko termasuk anak yang kuat. Dia tidak rewel. Padahal terkadang sulit membayangkan sakit gigi yang seperti itu. Gigi depannya patah tiga. Pun Niko cukup bisa tidur nyenyak. Niko sempat menggegerkan Ayahnya. Karena pas setelah kecelakaan. Besoknya --Hari senin-- Niko tiba-tiba minta ikut berangkat Les di rumah Bu Dewi. Niko pun sempat membuat guyonan dengan ibunya setelah kecelakaan.

"Ko, Gigimu dimana?

"Aku jual buk, di sana. 3500 per gigi. Hehe." Tentu dengan berbicara yang lumayan sulit

Akhirnya obrolan pun kami akhiri. Sebelum pulang, saya mengajak adik-adik berdoa untuk Niko di kamarnya.

"Semoga Niko cepat sembuh"

"Amiin"

"Cepat bisa sekolah lagi"

"Amiin"

"Cepat bisa Les sekolah rakyat lagi"

"Amiin"

"Dapat piala lagi"

"Amiiin"

"Berdoa dalam hati. Mulai"

"Selesai"

Cepat sembuh Nik. Kami pasti akan rindu guyonan dan sikap jahilmu lagi.

Apalagi permainan perkusi dan tawa ceriamu


Diketik dengan Hape, Oemah Rakjat Blunjah, 9 Juni 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya