Skip to main content

DISEBABKAN OLEH SENO GUMIRA AJIDARMA


 

Barangkali tidak berlebihan kalau saya menyebutnya penulis yang paling dibutuhkan zaman kita. Dia menulis apa saja. Mulai dari fiksi dan non fiksi. Mulai dari sastra sampai politik. Dan tulisannya seperti kopi yang enak ; harus dihabiskan hingga tandas.

Dan Seno Gumira boleh dibilang sebagai acuan referensi bagi siapa saja yang ingin menulis, terlebih  cerpen dan esai –tanpa bermaksud mengabaikan penulis lain. Tulisannya mengerti benar apa yang dibutuhkan pembaca. Semacam oase dan kepuasan tersendiri bagi siapapun yang membaca tulisannya. Seno gumira pernah berkata sendiri dalam buku ‘ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus berbicara’, “Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.” Sampai suatu waktu jika ada kawan yang menanyakan bagaimana cara meningkatkan minat membaca dan menulis, entah mengapa saya (dengan segala kekurangan diri) selalu merekomendasikan cerpen ‘sepotong senja untuk pacarku’ untuk dibaca terlebih dahulu.

“Kok Bisa ya orang nulis dan dapat inspirasi seperti ini?”

“Lha itu. Nyatanya bisa”

 Saya harus akui dengan jujur. Karya-karya yang dihasilkan Seno Gumira selalu hebat (Ini bisa jadi saya yang kurang melihat karya penulis lain atau memang karya seno gumira sendiri diakui hebat oleh orang lain juga). Saya mulai dari cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang berperan banyak dalam menjadi penyegaran sebelum menulis cerpen, lalu Novel “Kitab Omong Kosong” dan “Pendekar Nagabumi” yang mengairahkan minat untuk belajar dan mengekspolarasi lagi sejarah dan cerita-cerita masa lalu. Sampai Esai-Esainya yang boleh dikata begitu jeli dan serius melihat rutinitas sehari-hari –yang mungkin awalnya kita anggap sepele.

Tulisannya pun seringkali menjadi kutipan favorit banyak orang, seperti  dalam tulisan ‘Menjadi tua di Jakarta’ orang-orang sering mengutip, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Dan saya juga suka mengutip seperti dalam novel ‘Kitab Omong Kosong’, “Manusia pertama memandang langit, dirinya datang darimana. Manusia terakhir memandang bumi, dirinya hendak pergi kemana”. Oh, Seno gumira ajidarma : satu manusia tapi teramat banyak makna kehadirannya.

Pernah sekali waktu saya menonton Film Pendekar Tongkat Emas besutan sutradara Ifa Ifansyah. Saya menyaksikan detail cerita, alur, penokohan, jurus-jurus dalam film itu mengingatkan saya pada cerita silat Seno Gumira. Sehingga saya terbesit pertanyaan, “Kayaknya Seno Gumira ikut andil deh dalam penggarapan film ini. Dan setelah film mencapai endingnya, nama penulis cerita itu  memang salah satunya adalah Seno Gumira Ajidarma. Tuh kan!

“Lha kok tiba-tiba nulis Seno Gumira Ajidarma?”

Entah mengapa, tiba-tiba saya ingin membaca tulisan-tulisannya lagi di website duniasukab.com. mungkin itu juga usaha saya untuk mencari obat penghilang duka dari tragedi draft tulisan panjang saya kemarin yang hilang di hape (kalau yang ini sangat subjektif). Alhasil, saya menemukan beberapa esainya yang belum saya baca. Esai ‘Negeri tikus’ dan ‘Kehidupan sastra dalam pikiran’ yang ditulis tahun 1997, lalu ‘Jakarta tidak gemerlapan’ tahun 2005 masih terasa segar dan relevan meski tahun telah berubah sepuluh tahun kemudian. Seno Gumira begitu lihai memaknai ulang kegiatan sehari-hari dan mengemasnya menjadi sesuatu yang baru –yang kadang seru kadang haru. Tulisan-tulisannya saat ini secara subjektif kadang saya sandingkan dengan status-status fesbuknya @Embun Pagi –karena memang saya tidak berniat menyandingkan tulisan Mas Embun Pagi dengan tulisan Goenawan Muhammad atau Puthut Ea. Tidak!

“Lalu, Mengapa kok disebabkan oleh Seno Gumira Ajidarma?”

Bisa jadi saya sedang menghibur diri. Iya. Bisa jadi juga saya sedang mencari kekuatan untuk menulis lagi (meskipun tulisan saya masih acak-acakan). Saya beberapa kali mencoba menulis disebabkan oleh Seno Gumira ajidarma. Seperti saat saya mencoba menggarap semacam naskah teater ‘Bhisma Gugat’ saya memulainya setelah membaca novel ‘kitab omong kosong’ lalu semacam Cerpen ‘Jawaban Sukab’ juga saya memulainya setelah membaca cerpen ‘sepotong senja untuk pacarku’, ‘epilog : surat’, dan ‘jawaban alina’. Beberapa kali seperti itu. Saya melakukan semacam penyegaran dulu dengan membaca tulisan-tulisannya.

“Jadi, Intinya?”

Dan bisa jadi saya ingin mencoba menulis lagi. Menulis yang telah terhapus. Menulis yang telah terbengkalai. Menulis yang telah terlupa. Menulis apa saja. Dan mungkin juga lagi-lagi disebabkan oleh Seno Gumira Ajidarma.
 


Jogja, Minggu Awal Februari, 2016

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya