Skip to main content

SELAMAT MENIKAH MURSYID DAN ELIS


Hujan deras sekali. Kami mengobrol panjang lebar. Pengantin perempuan masih mengenakan pakaian pernikahan yang menyerupai putri di negeri dongeng, sedangkan yang lelaki sudah dengan pakaian biasa.

"Selama tanganmu ada di tangannya, begitu juga sebaliknya, maka weton (penanggalan jawa) tak lagi penting. Pernikahan adalah urusan keyakinan dan usaha, bukan mantra-mantra"

Mursyid yang mengatakan itu. Lelaki seusia saya yang barusaja menikah beberapa jam yang lalu (23/4). Si perempuan yang juga seusia saya itu tersenyum saja. Kedua pasangan itu --keduanya teman dekat saya-- menikah dengan gembira. Saya juga ikut gembira tentu saja.

Kami terkumpul dalam sebuah grup WA dan perkumpulan di dunia nyata yang cukup absurd. Namanya "perkumpulan dulur jahat". Prinsipnya mari menjadi orang-orang jahat yang berbuat baik daripada orang-orang baik yang berbuat jahat. Singkatnya, Kelompok itu terdiri dari saya, amba, ucil, emil, iblis, laila, misbah, puput, pak wo, dan rima. Kami semua berasal dari kota yang berbeda-beda. Aktifitasnya ya chat-chat-an di grup dan selalu mencari ruang dan waktu untuk bersilaturrasa di dunia nyata.

"Ya pokoknya kalian segera menyusul lah"

Begitu ucap sepasang pengantin itu mantap.

Resepsi pernikahaan di rumah mempelai perempuan baru saja diselenggarakan. Kami terlambat datang. Iya, beberapa diantara kami harus kuliah dan menyelesaikan acara terlebih dahulu. Pokoknya kami akan datang. Lengkap dengan obrolan dan tawa kami yang siap meramaikan seluruh ruangan. Bagi kami, acara pernikahan itu penting. Karena dia semestinya harus terjadi satu kali dalam seumur hidup. Penting lagi yang berikutnya adalah untuk memberi motivasi dan semangat untuk yang belum menikah.

Dan dipilihlah Jombang. Kota yang menyatukan kami. Juga kota yang menyatukan Elis dan Mursyid. Jombang memang begitu bermakna buat kami, saya menyebutnya sebagai kota dimana kepergian dan kepulangan seketika terjadi dalam satu waktu. Di jombang lah, lengkap dengan hujan, petir, kopi, dan serangkaian makanan enak, pernikahan mereka diselenggarakan.

Makanan enak itu kemudian berwujud pada stand masakan di resepsi dengan tulisan yang tertulis dengan jelas dan menawan: Bakso, Kikil, dan Sate.

Teman-teman dengan gembira mengambil bakso sambil melanjutkan obrolan di dalam rumah ala anak muda. Saya dan iblis pun juga sama, tapi kami lebih gembira lagi. Ya, sebab kami membawa bakso dan sate sekaligus.

Makanan kami tandaskan sembari ngobrol ngalor ngidul yang  intinya bertemakan pernikahan. Mursyid dan Elis tiba-tiba menjadi narasumber kami dan entah mengapa juga kami tiba-tiba menjadi seperti peserta seminar yang haus akan pertanyaan. Mula-mula dari ijab qabul sampai pertanyaan tentang harapan mereka setelah menjadi suami istri.

Kami mendengarkan dengan khidmat cerita Mursyid yang tidak bisa tidur semalaman karena esoknya hari dimana mereka melakukan ijab qabul. Hal itu masih juga dibarengi mursyid yang cukup gemetaran di hadapan penghulu sebelum mengucap bacaan ijab qabul yang dia pilih dengan menggunakan bahasa arab.

"Pokoke aku sampek raiso turu, aku ae pas latihan mbeg penghulune sempat kliru saitik, tapi dadi plong kabeh sakwise  suoro sah sah sah"

Kami tertawa dan obrolan yang lebih menyerupai seminar itu tetap kami lanjutkan.

Mursyid menambahi cerita mengenai hidup bersama mertua. Dia mencoba memunculkan (dan terus menjaga) citra yang baik di usia awal pernikahan.

"Aku pas bar ijab qabul kui kan terus tinggal nang kene. Ben dino hape ku tak gawe alarm. Jam 2. Jam 3. Jam 4. Fungsine sing jam 2 ben rodok melek. Jam 3 gawe tahajudan jamaah. Jam 4 gawe subuhan jamaah. Trus ora merem neh sampek isuk. Yo ben tambah gagah, aku nyapu, resik-resik omah, nyetriko, mbeg sejenise ngunu lah. Gawe awal-awalan. Sopo ngerti keterusan."

Kami semua tertawa lagi dan terutama kami yang laki-laki mengangguk-angguk. Elis tersenyum-senyum saja seakan meng-iya-kan semua tentang apa yang dikatakan imamnya.

Kemudian topik bahasan beralih mengenai persoalan harapan. Dan dalam hal ini boleh dibilang keduanya kompak. Pertama tentu saja: Sakinah, Mawaddah, Warrahmah. Kedua, bahwa kelompok kami --perkumpulan dulur jahat-- ini harus bisa bertahan sampai tua : harus selalu ada.

"Amiin"

Iya. Kami memang kalau sudah berkumpul otomatis menjadi sangat konyol. Kami bertanya dengan tersirat perihal malam pertama, keinginan meliliki anak, dan sejenisnya. Jawabannya pun juga tersirat. Tidak perlu dituliskan disini.

Acara kopdar dan reuni sekaligus resepsi pernikahan hari itu ditutup dengan nyemil sepuasnya, penyerahan kado, dan foto dokumentasi. Saya, ucil, iblis, dan misbah teringat kesepakatan konyol kami. Siapapun yang menikah lebih dulu diantara kami harus dibawakan kambing hidup sebagai hadiah di acara resepsi. Dengan syarat kambing itu harus dirawat dulu selama kurang lebih satu tahun, baru setelah itu bebas untuk dijual atau dimakan.

Hujan masih saja deras. Drama kami baru saja dimulai. Dia tengah berjalan dan terus bergerak maju. Pokoknya apapun yang terjadi (tangan kanan sambil mengacungkan telunjuk dan tangan kiri menggenggam erat telunjuk itu sambil berekspresi), kita terus bersama laah. Hahaa

Selamat buat Mursyid dan Elis. Semoga pernikahan kalian. Sejati.


Diketik dengan Tab. Jombang. dini hari. 24 April 2017. 

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya