Kabar dari Jogja
(3)
Apakah penyair tetap harus menyembunyikan kekalahan dari
kesunyian
untuk lahirnya sebuah Puisi ?
kucoba rangkai kata yang menderas dari langit kehidupan.
barangkali beberapa kalimat tersusun merupa sungai. menyapa masalalu kita yang
terurai. kemudian mengalir di muara samudera. tempat segala senja
dipuja-puja
kuterbangkan takdir, kekasih. mencoba melampauinya. karena
dalam semua ada. terjerat penjara kata. lalu kita selalu menanyakan, adakah
yang lebih bebas dari kebisuan aksara?
kita pun terkadang harus mabuk untuk membicarakan perasaan.
karena kesadaran selalu menyembunyikan kenyataan. namun dalam mabuk. beberapa
kejujuran yang kita utarakan selalu tak pernah bisa kita ingat. akhirnya kita
sepakat. kita memilih diam. suatu jawaban yang juga sering kita
bingungkan.
aku kembali berkabar,kekasih. karena sebenarnya kita tak
pernah dipisah jarak, hanya kita sulit memahami rentang waktu yang kian
berdetak. kabarku, dari kota yang serba tiba-tiba. juga mungkin tidak lebih istimewa
dari percumbuan kita. ketika kujelajah rimba di tubuhmu. mencari kenangan yang
mungkin pernah tertinggal sebelum kehidupan bermula.
inilah kabar, kekasih. saat aku waswas chelsea sedang
berlaga. dan kau selalu mempermasalahkannya. seperti cinta kita. mengapa kita
harus memainkan ketidakpastian ? dan aku pun menanyakan kembali, apa sebenarnya
yang pasti dari cinta kita ? dari sepak bola ?
kekasih, kau selalu senang memainkan rindu. di cangkir
kopiku.
mengapa kau tak pernah membawa siluetmu pulang setelah
pertemuan?
karena terkadang aku harus membuang waktu. untuk memaknai
siluetmu yang tertinggal. karena aku tak pernah selesai membaca wajahmu yang
terselimuti kesedihan.
kekasih, rokok yang terus kuhisap, meskipun hanya tinggal
berapa hembusan. selalu mengingatkan ciuman kita yang purba. sambil melumat
habis peradaban. kita melayari lautan asin dimana pemandangan setelah senja
selalu menguras airmatamu. buruh-buruh yang kelelahan pulang. petani yang
pusing bukan kepalang. juga lampu di pojok kotamu yang semakin remang, dilahap
habis kegelapan.
kabarku akan terus berlanjut kekasih, dikota seribu
kenangan. lima ratusnya kesedihan. aku selalu menunggumu kembali. untuk
mengetuk rumahku yang tak berpintu. kemudian mengingat kembali dinginnya
dinding yang terlampau sering membekukan cinta kita.
Jogja, 2014
Comments
Post a Comment