KEPADA ELIKA TENTANG
MBAH WARNI DAN MBAH NGADIYO
Elika, surat perahu
telah berlayar. tanpa tulisan. hanya kerinduan mengiris pada tiap baris, juga
cerita yang kau mungkin selalu menunggunya. seperti biasanya -pengantar
tidurmu- pada suatu hari. jejak menapak
singgah. kenangan pun tertanam. desa kiringan, dibelahan kota berpantai
kesedihan dan perpisahan. aku berjumpa mbah warni. suaranya masih menggema.
nyanyi tua bergenggam cita. menusuk ingatan sebelum pisah tiba. dia lah peramu
alam. membuat jamu pembebasan dalam aksara batuan renta. kokoh tegak menapak
dharma. membunuh rumit hidup dalam olahan sederhana. ah, kau mesti mencoba
jamunya, elika. lalu jika kau bertanya untuk apa?, tentu kujawab, untuk apa kau
tak segera mencobanya dengan berhenti bertanya? namun aku belajar, mbah warni
tak perlu negara. hanya desa. hanya sekecil apa kita bisa menikmatinya. juga
mbah ngadiyo, tawa bijak. senyum tua. ketenangannya berkawan usia. ah... tanpa
curiga. mereka -yang mungkin kau anggap percintaan biasa- merawat kenangan
begitu rapi. sampai dalam wajahnya kau bisa melihat tiap sudut cerita lama.
entah mereka memaknai cinta seperti apa. atau jangan-jangan memang tak pernah
memaknai. untuk apa memaknai sebuah makna?
dan surat perahuku,
membawa kelengkapan cerita mereka. semoga kau bisa membacanya lewat aksara
bisu. berbanjar senja biru. cerita mereka adalah perjalanan singgah. rumah
mereka merupa tempat kepulangan dan kedatangan meng-ada. seperti perahuku.
mungkin sudah menyebrang pulau harap. atau jangan-jangan sudah sampai padamu?
kiringan-kota-kos-sepanjang
jalanan jogja, 2014
Comments
Post a Comment