Skip to main content

BALADA SENJA DAN PELANGI YANG KURANG WARNA. Buat Oca





Oleh : MH Maulana



Pada awalnya

jingga

mengiris

dan hujan

selalu gerimis

di matamu

yang penuh

tangis



lalu diam

--entah mendiamkan--

menjadi sunyi

dari rimba

sepi

yang belantara



"Apa yang ditinggalkan senja selain kepedihan dan rindu yang keparat?"

Tanyamu



Entah mengapa,

sendu

merupa takut

tak bernama

sementara dingin

menjadi sebab

tak berantara



"Kita sudah jarang melihat pelangi di cakrawala"

Gumamku



"Tapi kita selalu butuh pelangi"

Bantahmu



lalu, dari pekat

kesepian

dan terburu-buru,



pulang



telah memburu

menjadi lari

terpurba

meninggalkan

semua nyata



"Pergilah untuk pulang dan kembali"

(Aku dengar ada yang bersuara)



Bukan airmata

tak sanggup

keluar,

lantas menjadi

puncak kesedihan



sebab airmata

adalah malaikat

penyelamat rasa sedih

juga pedih

dari dunia kita

yang sementara



namun kita

seringkali gagal

memahaminya



barangkali juga benar,

airmata membahagiakan

dirinya

dengan menjatuhkan

diri



"Tapi semuanya hitam putih" katamu



"Bukan, tapi abu-abu" kataku



"Mungkin semua belum jelas warnanya"

(Ada yang bersuara lagi)



Jika senja

dan jingga memudar

menempel langit

lelah

resah

pasrah

bukankah kehidupan

sudah kalah?



"Masih belum"

Kataku sombong



Padahal kita

seringkali dikalahkan

kehidupan

dan

tidak jarang

menutupinya

dengan



baik-baik saja



tenang



santai



sementara besok

pun lusa

sudah menjadi

hantu

yang kita

begitu takuti

lebih dulu



dan sendiran



"Apa pentingnya membahas senja dan pelangi yang picisan seperti ini?"

Kau bertanya



"Perasaan seringkali membuat hal yang tidak penting tiba-tiba menjadi penting"

Kujawab sekenanya



"Tapi kita harus realistis. Dunia nyata tetaplah bukan dunia kata-kata"

Kau membantah



Pada awalnya,

ditulis

entah dimana

bahwa ingatan

masa lalu

selalu penting

karena selalu banyak

yang ingin

kita

ketahui

seperti siapa

penemu kata-kata,

siapa

manusia-manusia

yang mengorbankan

dirinya

menjadi warna

pelangi,

dan apakah

malaikat,

memang benar-benar mempunyai

sayap?



Tapi kita

memilih diam

seperti senja

muram

kelam

memilih hilang

ditelan malam



"Tapi itu sudah ketentuan"

(Ada suara)



Dunia selalu

menakutkan

untuk siapa

yang memikirkannya



tapi bisa jadi

teman



untuk siapa

yang berjalan bersamanya



"Sok tahu" Ledekmu



"Yowes" Kujawab



Ada banyak hal

aneh

remeh

temeh

tiba-tiba

menjadi

sambal dan lalapan

di

piring nasi dan ayam panggang



kurang lebih,

semacam rasa Cabai.

kita mencoba

apa saja

yang ditawarkan

kehidupan



lalu kita,

buka pintu



"Untuk apa?" Tanyamu



(Tapi pintu sudah terlanjur terbuka)



Ada lampu kota

merupa kunang-kunang

ada anak-anak belajar

merupa album masa lalu

ada orang-orang di warung kopi

merupa pemikir dunia sendiri

ada petani dan buruh pabrik

merupa buku bacaan kenyataan

ada mahasiswa berteriak

merupa perjuangan yang masih sulit dipahami

ada film korea yang berjudul school

merupa pelajaran

pentingnya seorang teman dan sopan santun



"Apa? Korea" Tanyamu



"Iyo. Puas?" Kujawab begitu



Ada matahari terbit

dan tenggelam

entah mana

yang lebih

cantik

dari senyum

dan tawa

kebahagiaan



Ada ombak

di kaki kalian

pun berebut

menghitung bintang jatuh



A B C D E F G



Gajah, gorila, gagak



Ada jalanan menuju puncak

ramai sekali

dasar!

perempuan-perempuan

yang aku ragu

sekaligus percaya

kalau mereka

tidak meminta turun

dan pulang

secara tiba-tiba



ada bensin habis, Sakit kepala, Mual, Ngantuk, Ketinggalan, dan salah jalan.



Ada yang sok tahu. Nyebelin. Pemurung. Bingung tugas. Pemarah. Lugu. Polos. Perhatian.



Adakah semua itu,

Untuk apa?



Jauh di kaki langit

pelangi

kurang warna

atau kurang menyala



"Persetan mejikuhibiniu!"



Sebab pelangi

sangat mungkin,

adalah

semua warna

yang

membeda

dan

saling memahami

pun

sering mengalah

di

segala kemungkinan

dari

semua terka

dan

kira-kira



"Sudahlah, kau terlalu banyak berkata-kata." Ucapmu



"Tapi kehidupan menggodaku untuk banyak berkata-kata" Jawabku



"Tahu apa kamu tentang kehidupan?" Tanyamu



"Tidak tahu, tapi aku ingin meng-kata-katain-nya" Celotehku



Sore pun

bermalam

menggelapkan

semesta

hingga kelam



nun jalanan di matamu

menerawang

jauh

teduh

--mungkin saja--

sampai shubuh



selalu ada

yang pantas

kita

perjuangkan

untuk

segala kebaikan

dan

kebahagiaan



"Selamat tidur perempuan yang belum doyan kopi hitam"





Diketik dengan hape. Minggu pertama Januari, 2015

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya