; menuju
Banjarnegara
Di jalanan,
kita menghitung
ingatan
tentang kemanusiaan
sebelum lupa dan
luka
menghapus memar
setiap peristiwa
sebab telah begitu
banyak
yang kita
tinggalkan
tentang cerita yang
belum usai
dan tragedi
kepedihan
yang tak mau lagi
kita ulang
setiap penggal
episodenya
tapi Jalanan,
terlalu
sentimentil, Sayang.
ditambah hujan
--yang selalu kita anggap airmata dewa-dewa itu--
terlalu jujur
untuk menutupi
dusta
bahwa kita
ketakutan
menghadapi segala
yang ditawarkan
kehidupan
seperti sakit hati,
rasa bosan, dan kesepian
juga bencana,
bahkan kematian
yang datang
tiba-tiba
maka, gelap malam
kita --menjadi doa paling sepi
yang menjemput pagi
-- yang menjadi tempat kita bertamu pada nyata. Lalu bersama senja --kita
berlutut pada kata semoga
Allah ma'akum |
(Banjarnegara,
menuju lokasi pengungsian, Desember 2014)
Comments
Post a Comment