Entah mengapa. Setiap dongeng selalu diawali
kata-kata pada suatu hari atau pada suatu ketika. Hmm… Bagaimana jika saat
peristiwa itu terjadi. Belum ada hari, belum ada waktu, bahkan belum ada
nama-nama.
Seperti kisahku. Baiklah. Awalnya aku sengaja
menyebut ini sebagai dongeng. Sebab jika ini kusebut cerita nyata, aku pasti
dianggap pendusta. Dan jika ini kusebut fakta-fakta, aku pasti dituntut untuk
menyebutkan rumus dan angka-angka. Maka ini kusebut saja sebagai dongeng. Jika
orang dewasa tak bisa menerimanya. Biarlah, nanti anak-anak menikmatinya.
Meskipun toh nanti diabaikan juga oleh anak-anak itu saat mereka tumbuh remaja.
Inilah dongeng yang diawali pada suatu yang entah.
Sebab memang benar belum ada hari dan waktu. Serius. Peristiwa ini bahkan telah
terjadi sebelum 6 hari Tuhan menciptakan alam semesta seisinya.
Singkatnya. Aku tumbuh di pohon itu. Pohon yang
begitu dipuja dan ditakuti oleh semua penduduk surga. Sebab di pohon itu tumbuh
buah yang menjadi rahasia penciptaan. Beberapa buku berbeda versi menyebut itu
sebagai buah apa.
Pokoknya aku adalah sehelai daun yang tumbuh tepat
disamping buah terbaik dari pohon itu. Buahnya menyala terang. Buah terbaik
dari yang paling baik. Buah paling baik dari yang terbaik. Tak ada yang berani
menyentuhnya. Karena itu sudah jadi aturan. Karena itu sudah jadi perencanaan.
Sungguh. Aku sehelai daun yang menyaksikan kumpulan
cahaya bersujud. Aku sehelai daun yang mendengarkan kobaran api menyanyikan
puja dan puji surgawi.
Cuaca saat itu sungguh tenang. Musim saat itu begitu
cemerlang. Kunamai seperti itu biar mudah lah. Sebab memang belum banyak
nama-nama. Bahkan di titik itu aku masih tidak tahu waktu itu yang bagaimana.
Ya, sampai peristiwa itu datang. Diciptakanlah manusia pertama. Dia yang
kesepian. Karena dia tidak menjumpai sejenisnya untuk dijadikan teman. Maka
diciptakan juga pendamping hidupnya. Tapi, tidak diciptakan dari tulang
rusuknya.
Segalanya kemudian menjadi baru. Kedua manusia itu
menjadi sorotan utama. Semua penghuni dituntut menghormatinya. Kecuali kobaran
api yang terus menyala itu, seakan tidak ingin ada yang dihormati dalam
sujudnya lagi selain Tuhan. Tapi entah memang karena pemberontakan atau
perencanaan, hal itu terjadi. Kedua manusia itu mendekat di pohon di mana aku
tumbuh. Di mana buah terbaik itu tumbuh. Perempuan itu begitu memohon dan
lelaki itu tak kuasa mengabaikan permintaanya. Mungkin inilah kelak sejarah
melahirkan perempuan yang ketika meminta, mereka, laki-laki, berusaha keras mengabulkannya.
Ah, aku sungguh tak bisa melupakan peristiwa itu.
Semua penduduk surga mengalami ketegangan yang bukan main. Gerombolan cahaya
terdiam. Kobaran api berhenti bergoyang. Inilah kemudian barangkali yang tak
disadari manusia itu. Tak disadari penduduk surga juga. Sebegitu kuat manusia
mencintai, kadang sering berarti juga sebegitu hebat juga dia untuk berkorban.
Diretasnya buah terbaik itu. Lepas. Atas nama
cinta. Atas nama penasaran. Atas nama pemberontakan. Atau juga atas nama
perencanaan. Entahlah. Seketika segala dan semua terdiam dalam ketakjuban.
Barangkali inilah kemudian yang tak disampaikan
sejarah. Luput diceritakan pada kitab-kitab kisah. Aku ikut terlepas bersama
buah terbaik itu dari pohon kebermulaan di alam surgawi. Aku melayang-layang.
Terbang. Semua menyaksikan kedua manusia itu memakan buah terbaik dari segala
penciptaan. Tak ada yang melihatku. Aku terbang. Aku melayang-layang.
Jadilah aku sehelai daun yang terlupakan. Saksi segala peradaban. Saksi semua
kejadian. Entah mengapa, barangkali aku juga: abadi.
Aku menyaksikan bagaimana cinta bekerja. Bagaimana
cinta berjuang melawan trauma. Kedua manusia itu dipisahkan jarak untuk
menjalani kehidupan sesungguhnya. Bukan dengan meminta lalu kemudian datang
dengan sendirinya. Aku tahu pasti. Itu bukan kutukan atau hukuman. Itu adalah
latihan penempaan fisik dan mental dalam menjalani kesejatian.
Aku ikut turun ke dalam dunia. Sebab kuyakini surga begitu membosankan dan
isinya itu-itu saja. Aku lihat gerombolan cahaya mengucapkan salam perpisahan
kepada kedua manusia itu, tapi bukan kepadaku. Barangkali memang benar aku
telah terlupakan sebenar-benarnya. Sementara beberapa kobaran api juga ikut
turun ke bumi. Mereka berjanji untuk memenuhi tugas berat kebencian suci sampai
akhir hayat nanti.
Aku melayang-layang. Terhempas kesana kemari. Di antara
hampa dan udara. Teringat kisah terakhir kedua manusia itu sebelum turun ke
dunia. Keduanya tergeletak lemas setelah buah itu dicicipinnya. Bukti bahwa
keberaniannya lulus. Bukti bahwa mereka siap menjalani kehidupan di dunia
dengan tulus.
Aku masih juga melayang-layang. Mulai mengenali dan
meraba-raba semesta seisinya. Menyaksikan kedua manusia itu menempuh jejak dari
keterpisahan yang teramat memilukan. Mereka menciptakan bahasa. Mereka
memberikan nama-nama pada yang dijumpainya.
“Suatu hari anak-anak yang terlahir dari rahimku
akan merasakan rindu. Wujud keindahan dan kesakitan dalam satu waktu” Begitu
kata Hawa suatu Ketika.
“Kelak anak cucuku akan menyesali perpisahan. Sebab
ia selalu membawa kenangan-kenangan yang menyakitkan” Adam juga bergumam suatu Ketika.
Dan yang lebih indah dari itu semua. Tentu adalah
saat mereka berjumpa dari tahun-tahun paling panjang. Dari tahun-tahun
perjuangan hidup melawan ketakutan dan kata menyerah.
Sumpah. Tak ada kata-kata!
Yakin deh. Kedua manusia itu terdiam begitu saja!
Perlahan, turun airmata. Untuk pertamakalinya juga,
gerimis mengguyur semesta.
Lalu mereka saling memeluk. Kelak suatu hari manusia melakukannya ketika kata
cinta tak cukup. Sebab akan selalu ada penyatuan detak jantung yang tak bisa
dibahasakan dengan buku yang bertumpuk-tumpuk.
Aku mengikuti airmata itu. Mengalir meresap tanah.
Melewati pepohonan raksasa. Hingga sampai ke laut: tempat segala kesedihan
diciptakan –pun muara segala kebahagiaan bersemayam.
Sementara kedua manusia itu memberikan nama-nama
pada setiap segala semua yang didengar lihat dan rasanya, aku terpesona laut,
apalagi senja. Terlebih jika senja dan hujan turun bersama-sama. Aku
beterbangan kesana kemari. Masih juga di ruang antara hampa dan udara.
Sampai peristiwa itu terjadi juga. Kelahiran
manusia baru. Aku saksikan kedua manusia itu menggendong bayi-bayi. Mereka
ternyata bisa melihatku. Ya, bayi-bayi itu. Mereka melihatku dengan kata yang
belum mampu mereka bahasakan. Aku menghiburnya. Kugoyang tubuhku menyentuh
tubuh mungilnya.
“Ciluk Ba! Ciluk Ba!”
Barangkali itu memang takdirku. Aku sehelai daun
yang hanya bisa disaksikan bayi-bayi sebelum mereka lepas dari air susu ibunya.
Sehingga aku selalu berusaha membuat mereka senang, selain usaha orang tuanya
menyanyikan lagu timang-timang.
Aku juga menyaksikan itu. Pembunuhan pertama dalam
umat manusia. Bukti bahwa tuhan tidak menciptakan semua kebaikan saja untuk
dipelajari. Tapi juga belajar dari serangkaian tragedi. Pun semua tata
kehidupan alam semesta. Seperti burung gagak yang mengubur saudaranya sendiri.
Seperti manusia itu juga. Seakan mengekalkan bahwa kenangan pahit perlu
dikubur. Tapi juga perlu dihadapi segagah-gagahnya.
Kehidupan-kehidupan baru kemudian lahir. Aku lebih
suka menghabiskan waktuku di laut. Menyaksikan ikan berlompatan. Camar meliuk
kesana kemari. Ombak bergemuruh. Burung kondor di cakrawala. Juga anak-anak
berlarian diatas hamparan pasir berkilauan. Sambil sesekali tetap berkeliling
menyaksikan bagaimana seluruh kehidupan berjalan.
Sungguh! Aku sehelai daun yang menyaksikan
semuanya. Tahun, abad, dekade, dan millennium berlalu dalam ukuran waktu yang
tak mampu kuhitung dalam angka-angka. Aku terpengarah atas apa saja yang
terjadi dalam usia kehidupan. Seakan di waktu yang jauh, semua terjadi tak
seperti yang kubayangkan. Bencana dan tragedi kemanusian meluluh lantahkan apa
saja. Peperangan saudara. Pertarungan negeri. Perjalanan ilmu pengetahuan dalam
kehendak rakyat dan penguasa.
Aku menyaksikan sejarah manusia lahir dari
perjuangan kelas. Tak ada ampun bagi mereka yang memelas. Tak ada nasib baik
yang berpihak pada para pemalas. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu mau bersatu mengubah nasibnya sendiri. Kemenangan-kemenangan
besar diwujudkan oleh kekuatan rakyat keseluruhan, bukan dari satu orang yang
dianggap pahlawan dan didewakan. Panjang umur perjuangan para buruh, petani,
nelayan, kaum papa, perempuan, dan semua yang ditindas oleh kepentingan pembangunan
dan akumulasi keuntungan. Karena setiap yang tertindas tidak akan kehilangan
apa-apa kecuali rantai yang membelenggu tubuh mereka sendiri.
Pada akhirnya toh aku tetap hanyalah sehelai daun.
Di mana kusaksikan dunia berisi lebih banyak orang yang bisa makan, tapi
sedikit yang bisa bersikap jujur. Dan kebenaran, apapun alasannya selalu pantas
diperjuangkan. Bahkan ada satu penulis di bumi mengatakan, “Bahkan samudera
darah pun tak sanggup menenggelamkannya.”
Dan aku kini memilih banyak beterbangan di negeri
yang terdiri dari banyak laut dan pulau-pulaunya. Di negeri di mana suara yang
banyak dibungkam lebih jujur daripada yang diumbar lewat pengeras suara. Di mana
kenyataan di dalam ruang yang kumuh dan terbengkalai itu lebih bisa dipercaya
daripada yang dipertontonkan layar kaca.
Aku menyusuri pesisir pantai negeri itu. O, Pelabuhan
dan dermaga-dermaga. Zaman memang telah berubah. Pemandangan masyarakat pinggiran
adalah bagian kecil dari rangkaian kesedihan di negeri itu yang tak mampu
ditutupinya. O, lagu dangdut, ceracau pemabuk, dan teriakan para penangkap
ikan. Hingga di suatu shubuh, seorang pelacur berbisik lirih di telinga anaknya
yang tertidur lelap.
“Nak. Jika kau besar nanti jangan seperti ibuk. Kau
harus bisa menjadi lebih baik. Pekerjaan semacam ini bukanlah atas keinginan
ibuk. Bapakmu tak pernah kembali dari laut. Kita harus tetap hidup. Besok kita
harus tetap makan. Dan kamu harus sekolah yang pintar agar tidak menjadi
pelacur hina seperti ibumu ini. maafkan ibu, Nak”
Aku lihat perempuan itu terduduk lemas. Airmatanya
menetes. ingin sekali aku mengusapnya. Tapi tak bisa. Semuanya menjadi
kepedihan tak terucap dalam kata-kata.
Lalu pemandangan lain di sebuah hotel pinggir
pantai seorang petinggi ibukota menyusun rencana.
“Tambang besi harus tetap diperluas”
“Tapi Pak”
“Sudahlah. Persetan dengan rakyat kecil."
‘’Jadi kita tetap akan menggusur dan
mengalihfungsikan lahan pesisir dan beberapa tanah
warga di pinggir pantai itu, Pak"
"Loh ya jelas. Investor sudah pasti mau.
Akademisi tinggal kita bayar untuk memuluskan
jalannya proyek ini. Dan kita tinggal mengatur
perijinannya"
"Tapi kalau mereka kehilangan lapangan
pekerjaan dan penghidupannya"
"Itu urusan mereka. Kita harus bisa mengambil
peluang yang menggiurkan ini. Kamu nggak pengen punya mobil baru? Rumah baru?
Liburan ke luar negeri juga?"
"Tapi Pak. Kalau mereka demo?"
"Kita Sikat. Kan ada polisi. Ada tentara.
Memang mereka mau dibuat apa"
Barangkali inilah yang lebih kejam daripada
pembunuhan pertama umat manusia. Membunuh secara pelan-pelan. Merusak tatanan.
Membuat puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang melarat lalu mati sekarat tak
tertahankan.
Bahkan pemandangan lain dari pesisir itu. Di remang
bar murahan. Remang lampu, botol bir, dan vodka. Sepasang kekasih melakukan
pembicaraan.
"Mas. Aku hamil"
"Kamu ngomong apa. Aku nggak dengar?"
"Aakuu haamiiil"
"Kakakmu hamil? Sukurlah kalo begitu"
"Hiih. Aku mas yang hamil. Aku. A-k-u."
"Hah?"
"Mas pasti tanggung jawab kan? Mas kan cinta
dan sayang sama aku?"
“Hah?"
"Iya kan mas? Iya kan? Tanggung jawab kan?”
"Heh, mana mungkin aku menghamilimu. Aku kan
kemarin membeli kondom."
"Iya, mas memang beli kondom. Tapi nggak
dipakek. Karena mas mabuk berat"
"Nggak mungkin. Kamu pasti mau menjebakku.
Nggak, ini bukan karena ulahku. Ini pasti karena ulah kamu dengan laki-laki
lain"
"Dasar bajingan kamu, Mas"
Perempuan itu berlari. Menangis. Menuju laut.
Dipandanginya cakrawala. Desau debur ombak
memilukan hatinnya.
"Apakah karena ibuku pelacur? aku harus
bernasib sama sepertinya. Apakah nanti adikku juga? Kepedihan hati apalagi,
Tuhan? Ayahku hilang di laut. Kakak laki-lakiku tak jelas rimbanya di kota.
Kemiskinan mengoyak hidup kami. Rumah kami juga hendak digusur. Kami harus
bagaimana lagi?
Jauh di samudera sana. Aku melihat seorang bapak
terkubur di pulau terpencil. Dia dibunuh karena mencoba membangun kekuatan
untuk memberontak tambang. Tak ada yang tahu kematiannya. Aku pun tak bisa dan
tak memiliki kemampuan mengatakannya.
Ah, aku sangat menyayangi anak itu. Anak itu
teramat kecil untuk mengerti semua kepedihan yang terjadi. Bersama pamannya, dia
berlarian di atas pasir. Pasir yang tak lama lagi akan dikuasai tambang. Dia
yang teramat mencintai laut. Mencintai setiap ikan, ombak, dan senja yang
tenggelam dalam debur asin airnya.
"Paman. Apakah perempuan boleh jadi nelayan?
Berteman dengan ikan, ombak, dan ayah ditengah laut sana?"
Pamannya terkejut. Dia sangat menyayangi gadis
kecil itu. Dia tidak ingin menyakitinnya. Meskipun dia sadar tambang akan
datang semakin luas merebut tanah hidupnya.
"Iya nduk. Tidak apa-apa. Nenek moyang kita
juga seorang pelaut"
"Horee," begitu sambut gadis kecil itu.
Dan aku sehelai daun yang membenci diriku sendiri
karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Sampai hari itu datang. Tambang mulai melakukan pekerjaannya. Pematokan.
Penyuapan kepala desa. Penggusuran tahap demi tahap. Pelacur itu., ibu dari si
gadis kecil tak sanggup lagi menanggung semuanya. Dia benamkan tubuhnya ke
laut. Berharap ombak membawanya pada suami tercinta.
Apa yang terjadi kemudian adalah anak perempuan itu
menangis histeris. Ditangisinya jasad beku tak bernyawa. Hari itu: Tanah
pesisir berduka.
Dalam kubangan dendam, sang paman dan warga
menyusun rencana. Diajaknya semua berembuk. Petani, Nelayan, Guru Agama, Buruh,
Gelandangan, Pelacur, dan semua yang tertindas untuk menyatukan tujuan bersama.
Sang paman berteriak lantang.
"Sesama orang lemah harus saling tolong
menolong. Tak ada kemenangan perjuangan yang didapatkan dari mengemis dan
merengek-rengek. Kemarin sudah jatuh korban. Apakah akan kita biarkan lagi? Apa
yang harus kita lakukan? Tumbal perjuangan sudah cukup. Saatnya kita menyatukan
barisan. Kita bangun kuat-kuat. Lalu kita hantamkan pada kekuasaan yang
menindas tepat di jantungnya."
Dan sejarah terus berjalan. Perlahan dan pasti
semua meninggalkan dunia. Sampai akhirnya. Aku sehelai daun. Aku harus
menghadapi ketakutan yang teramat sangat. Bahkan aku terlampau takut hanya
dengan membayangkannya saja. Yaitu ketakutanku yang tak bisa mati. Terlepas
dari semua dan segala. Menyaksikan apa saja yang terjadi. Semua kepedihan dan
kesedihan itu. sendiri. Bahkan Tuhan.
Aku tetap melayang kesana kemari. Mungkin nanti
akan sampai ke lelap tidurmu. Merasuk dalam mimpi-mimpimu. Menjelma hantu-hantu
di kepalamu.
Dan sementara, kucukupkan untuk sekian dongeng ini.
Selamat malam. Semoga mimpi indah dan sehat selalu sodara-sodaraku semua!
Jogja. Minggu Awal Maret 2016
Comments
Post a Comment