Skip to main content

Menebak Sakitmu Diantara Deretan Proposal dan Naskah yang Belum Jadi

Buat Dik

Betapa tidak enak mengunyah makanan favorit kita saat kau sakit. Begitu juga tawa lepas pagi kanak-kanakmu yang lebih membahagiakan dari mendapat arisan belum juga kudengarkan. Seperti basi salam pembuka sembutan aku pun mengatakannya: cepat sembuh, cepat sehat, dan segala kecepatan lain. Mesti belum sepenuhnya tepat. Belum.
Dan diantara rentetan tenggat tercatat aku masih saja menebak sakitmu yang entah untuk apa. Bukan. Aku bukan dokter yang lantas menganjurkanmu tiga kali sehari menelan kepahitan palsu. Aku. Seperti halnya kanak-kanak ingin bahagia menuruti keinginannya. Meski tak jarang lalu lebih mencelakai.
Kamu lebih berbahaya dari menerobos lampu merah. Aku waspada. Sambil siaga. Sesekali bisa muncul ancaman yang membuatku akan semakin lebih sangat mencintaimu lagi. Kamu pohon kaktus kesayangan. Betapa aku tak akan membiarkannya kekeringan.
Jangan sakit. tentu itu ucapan bodoh dan egois. Seperti tukang pos kehilangan alamat surat di muka amplop. Aku mencari sakitmu. Tidak. Aku selalu ingin menumpahkan semuanya di kamu. Kamu lautan. Tapi sekarang nampaknya cuaca sedang tidak baik. Aku tidak jadi berenang. Aku belajar sabar sambil sesekali kebelet menyentuhkan ujung jari kakiku di debur ombak. Memastikan angin laut segera berbalik. Supaya kita bisa bergandengan tangan. Bahwa aku baik. Kamu baik. Kita: kanak-kanak yang belum mengenal dosa tapi sudah berani mengejek angkuhnya dunia.
Dan di layar masa depan ini semua menunggu. Ya. Menunggumu siap sedia sebelum senapan lomba lari ditembakkan. Aku di bangku penonton saja. Mencari sakitmu di deretan kursi supaya tak ada yang mengganggumu sampai ke garis akhir. Aku ingin menyambutmu disana. Memelukmu seperti sebulan lebih kita tak bertegur sapa karena kehabisan pulsa dan paket data.
Tapi sakitmu pun kurasakan juga di dadaku. Kamu: terluka disana. Nyerinya begitu terasa di tidurku. Mari berobat bersama. Kutanggalkan waktu. Kau tinggalkan ruang itu. Kita: beristirahat bersama puisi dan kata-kata. Sampai pagi datang. Dan semua kenang tentang sakit: Pergi dibawa pulang kunang-kunang.

Jogja - Bojonegoro. Mei 2016







Comments

Popular posts from this blog

Marathon Pertama, Akhirnya

Langit masih gelap. Ribuan orang berbondong-bondong mengenakan pakaian yang semarak dan outfit lari yang lengkap. Mereka semua, dan saya juga, ini rasa-rasanya termasuk sebagian besar orang-orang yang rela tidur sebentar, menempuh perjalanan jauh, berlatih cukup keras, berharap-harap cemas saat undian acak kelolosan, dan mengeluarkan biaya untuk menyakiti diri sendiri demi berlari puluhan kilometer.  Saya berjalan beriringan bersama yang lain menuju garis start. Ada suasana haru, merinding, cemas, bangga, bahagia, dan semangat yang bercampur di sana, seperti potongan perasaan yang melebur halus dan lembut dalam blender jiwa. Sembari melewati jalanan aspal di kompleks candi, rindang pepohonan, dan basah rerumputan setelah hujan, saya mencoba mengingat bagaimana ini semua dimulai.  Saat itu, akhir tahun 2022. Saya mencoba berlari menggunakan aplikasi pengukur waktu, jarak, dan kecepatan dari Nike. Sebelumnya, setelah saya mengalami gejala covid-19 dan mengisolasi diri dua minggu...
PETILASAN ANGLING DHARMA DAN NYAI AMBARWATI Oleh MH Maulana             Desa Bendo, kecamatan Kapas, Bojonegoro menyimpan sebuah tempat unik, mistik, damai, sekaligus kaya sejarah. Tepatnya di sisi waduk Bendo. disana terdapat sebuah tempat Pamoksaan dan petilasan prabu angling dharma da nyai ambarwati. Sebuah tempat menyerupai labirin dengan hiasan batu-batu dan atap dari ilalang kering membuat suasana petilasan terasa rindang dan tenang. Selain itu disisi petilasan ini terdapat waduk bendo yang merupakan tempat pemancingan gratis dengan pemancing yang tak pernah sepi tiap harinya.             Menurut keterangan juru kunci, pak ali. tempat petilasan ini dulunya adalah tempat dimana prabu angling dharma bertemu pertama kali dengan nyai ambarwati dan saling menumbuhkan benih-benih cinta. Selain itu terdapat pula pohon bambu lumayan tinggi yang dipakai sebagai rumah poh...

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se...