Skip to main content

FIJNE VERJAARDAG, NDELS


Buat Yeni Mutiara

Ya. Itu bahasa belanda. Saya sempatkan menulis di google translate biar kelihatan agak keren. Biar kita semakin dekat dengan kota impian itu --Kota yang melahirkan orang hebat semacam Multatuli, Henk Sneevliet, dan Van Gogh-- untuk pergi ngopi lalu pulang kembali ke Indonesia. Mengenai arti kalimat itu sila cari sendiri. Mudah saja. Cukup dengan menuliskannya ulang di google translate. Jangan beralasan Hape Sm**rtf**n terhebat sepanjang masamu itu tak ada paket data.

"Jogja hujan terus, kamu tidak sedang bersedih kan?"

Masih seputar hari yang agak bersejarah untumu. Hari atau lebih tepatnya tanggal yang sebenarnya kamu tidak pernah meminta dilahirkan ke dunia. Sehingga kamu harus bertemu orang keren dan cukup berbahaya seperti aku. Orang yang akan selalu mendebatmu dengan tangguh, meskipun hal itu juga berlaku sebaliknya.

"Bukan seberapa kuat Cinta, tapi seberapa hebat Rangga sehingga akhirnya cinta memutuskan menjalin hubungan itu kembali"

"Tapi lihatlah Rangga yang memohon, mengemis-ngemis setelah hal bodoh yang dia lakukan pada Cinta"

"Tapi Cinta memang sebenarnya tak bisa berpaling"

"Tapi Rangga sekali lagi sangat tidak bertanggung jawab"

"Tapi..."

"Tapi apa"

Kita terus berdebat selama Film itu diputar. Bahwa kita tak lagi sedang mengomentari jalan pikiran tokoh atau alur cerita , tapi lebih pada keinginan untuk tidak kalah dalam perdebatan konyol itu. Ya. Sampai Film itu selesai. Dan kita keluar Bioskop seperti telah melakukan gencatan senjata sementara dari perang Uni Soviet melawan Amerika.

"Dan Jogja masih hujan, meskipun tidak deras sekali seperti sebelumnya."

Saya membayangkan kamu sedang di rumah menggendong adik laki-lakimu sambil mengingat beberapa hal yang terlewat di Jogja sebelum kamu pulang ke kampung halaman. Ya. Kamu begitu mudah lupa, seperti halnya aku yang mudah sekali kelaparan saat melihat makanan yang cukup membuat iman tergoda.

"Dan jalanan Jogja basah"

Saya membayangkan kamu disini dan dengan konyol mengajak merayakan tanggal lahir (yang sekali lagi tak pernah kamu minta) itu memasak masakan pertaruhan. Ya. Kita sama-sama pergi ke toko kelontong dan toko sayuran berbeda lalu kembali ke dapur dan memasak semua bahan yang kita bawa masing-masing. Semuanya. Dan tak boleh ada bahan masakan yang kita bawa itu sampai tak terpakai.

Saya membawa telur, tempe, sawi, kol, cabai, bawang merah, bawang putih, garam, gula, mentega, pentol bakso, sosis, dan mie instan (yang kamu nggak suka)

Kamu membawa ikan teri, cabai, garam, terong (yang aku nggak suka), tomat, tahu, tempe, kacang panjang, bawang merah, bawang putih, kangkung, kubis, dan petai china (What?)

Lalu melewati perdebatan panjang dan rangkaian asumsi, maka disepakatilah (dengan alot) bahwa kita akan memasak semacam oseng-oseng tumisan konflik (ini nama yang kita sepakati) dengan catatan: Mie instan dicampur tidak dengan bumbunya, Petai China hanya digunakan sebagai hiasan, beberapa bawang merah digoreng hanya menjadi bawang goreng tabur saja, dan masakan pasti akan menjadi sangat pedas karena kita sama-sama membeli cabai yang cukup banyak.

Alhasil, Kita memasak dengan waktu yang lumayan panjang. Ya. Dengan beberapa cekcok, Spatula patah (kejadian ini terulang kembali), lupa tempat meletakkan garam, dan tumpahnya beberapa sayuran karena ada kucing ikut meramaikan pertaruhan masakan. Ya. kamu takut kucing. Sama halnya seperti ibuk dan adikku.

Toh masakan itu jadi juga. Kita makan dan nikmati sembari menertawakan hal-hal kecil selama proses pembuatannya. Masakannya enak. Entah karena tanganmu atau tanganku yang sedikit banyak menyelamatkannya.

"Jogja pun awet dengan hujan tipisnya"

Kini Kamu tambah tua. Meski tidak harus berkumis dan jenggotan. Tidak harus semakin berat memikirkan hidup. Dan tidak harus bertele-tele menyesali waktu yang telah lewat. Kamu ada dan tugas-tugas kehidupan pasti selalu menyertainya.

"Oh ya. Apakah kotamu juga hujan?"

Kopi lampung barusaja kuminum. Sambil mengingat kamu yang sering tidak tega dengan orang lain. Bahwa banyak hal sebenarnya harus kamu tegasi tapi tidak kamu lakukan. Semisal Kamu dan Rumah baca. Kamu dan masa depan anak-anak manusia. Pada akhirnya semua orang nantinya akan menjadi pemimpin. Dan hari ini adalah waktu kita menempa sikap-sikap itu. Sebelum kita menyesal lagi. Seperti yang pernah Mark Twain katakan,"Lima tahun dari sekarang, Orang akan lebih menyesali hal-hal yang belum sempat dia lakukan, daripada yang telah dilakukan"

"Hujan nampaknya sebentar lagi reda"

Kamu dan beberapa hal yang kamu miliki adalah keteladanan untuk hari ini dan besok. Hari ini semakin sedikit orang yang bisa diteladani, Reformasi terlalu banyak mewariskan penjilat dan pengkhianat. Orde baru meninggalkan kerusakan yang tak kenal ampun: Sejarah dan pembangunannya dibentuk untuk melanggengkan kekayaan segelintir orang saja. Cukup. Ayo menciptakan keteladanan itu sendiri. Ayo beranikan memulai dan mengajak. Ayo membiasakan hal baik. Kamu yang membenci ketidakadilan, Kamu yang diberi kelebihan bisa bernyanyi, menari, menulis, dan memainkan drama tak lebih tak bukan adalah untuk berpihak pada rakyat jelata.

"Hawanya membuat ngantuk"

Nampaknya dunia semakin tidak baik-baik saja. Menurut pemikiran bodohku, Hanya lingkungan-lingkungan kecil yang baik dan bersatu yang bisa menyelamatkannya. Seperti yang pernah dikutip Lenin dari pendahulunya, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial (lingkungan) merekalah yang menentukan kesadaran mereka". Tidak bermaksud sombong dan menggurui (juga sok mengutip), kita bersama yang lain sebisa mungkin ikut menciptakan lingkungan-lingkungan kecil yang baik itu, meski teramat kecil sekalipun. Bukankah kita juga teramat menyukai kalimat itu,"hidup tanpa resiko adalah hidup yang tak layak dijalani."

"Kopinya hampir tandas"

Saya tak bisa memberi banyak. Hanya 'Usaha memaknai Ulang tahun dengan Selo' dan seperti pada umumnya momentum, ayo mengingat hutang-hutang kita, baik materi, tulisan, dan pekerjaan-pekerjaan yang harus segera kita tuntaskan.

"Hujan sudah reda dan kopi pun sudah tandas"

Teruslah menjadi pendebat yang tangguh dan pengingat yang ampuh. Teruslah menomeliku untuk mandi dan bangun pagi (Haha). Teruslah melestarikan air putih dan Ant*ng*n sebagai obat segala macam penyakit manusia. Teruslah menjadi menyenangkan untuk menghibur dunia yang menyedihkan ini. Teruslah menjadi. Mengalami bersama waktu sampai tak bisa diteruskan lagi.
Sekali lagi. Fijne Verjaardag Perempuan yang sebenarnya tak pernah meminta dilahirkan di tanggal Duapuluh Enam Juni Seribu Sembilanratus Sembilanpuluh Lima. Semoga. Semoga. Semoga.

Diketik dengah Hape. Di Jogja. Pada Minggu ketiga Juni. 2016
(Sengaja ditulis telat supaya tidak tepat waktu. Hehe)

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya