Skip to main content

HOME SWEET HOME

Di rumah. Hujan berderai dari sore sampai hampir petang. Saya memandanginya. Lama. Saya benar-benar suka hujan itu: mengenang dan menggenangkan becek halaman.

Saya pulang. Untuk kesekian kali. Bagi saya, pulang adalah ketika segala yang berubah memang harus terjadi dan beberapa halnya memang harus demikianlah adanya.

Saya bersama kopi. Saling diam di teras rumah. Memandangi kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Membiarkan denting hujan meramaikan atap seng dan suara lain dari hujan atas apa saja yang dia jatuhi.

Kenangan tiba-tiba saja bermunculan. Dari wangi tanah. Dari pagar rumah yang mulai aus warna catnya. Dari setiap hal sepele. Untuk sesuatu yang sama sekali tidak bisa disepelekan.

Diam-diam saya bersyukur. Masa kecil saya menyenangkan. Disisi lain saya gelisah. Tak ada yang abadi.

Saya melihat langkah-langkah kecil saya menyeberang jalan raya. Berlari. Berteriak ke orang rumah. Saya mau hujan-hujan. Ke halaman sekolah. Main sepak bola. Itu dulu. Dulu sekali. Dulu ketika masa kecil saya diisi berkumpul bersama teman-teman ketika sore. Ketika Sekolah libur. Pulang sekolah. Ngaji libur. Pulang ngaji. Ya. Kami main apa saja. Dari kelereng. Sepak bola bergawang sendal. Bersepeda di jalanan yang kami atur sedemikian rupa di rimbun pohon bambu. Sampai berenang di sungai yang selalu menjadi agenda wajib setiap hari disamping sholat lima waktu.

Langkah-langkah kecil itu pun kemudian tumbuh. Saya melihatnya di kamar. Menempel poster pemberian pacarnya waktu smp. Berbaring dihadapan radio. Menunggu salam kangennya dibacakan penyiar. Sembari request lagu-lagu galau di zaman itu tentu saja.

Di waktu yang lain, telpon berdering. Dari pacarnya. Tapi panggilanya bernomor tak dikenal. Tak ada percakapan. Hanya nyanyian dari yang menelpon. Isinya lagu tentang putus. Ya. Tak lama kemudian memang putus. Poster pemberian dikamarnya itu lalu di tempel poster lain.

Kamarnya yang dengan gegabah dicat warna ungu itu
Jadi saksi. Betapa kamarnya memang nampak gelap. Tapi beberapa sahabat smp nya sering menginap di kamar itu. Ngomongin apa saja. Asal bukan membahas persoalan rumah tangga.

Smp nya lumayan jauh dari rumah. Pacarnya yang baru juga. Tiap malam telfonan dan sms-an lagi ngapain. Oh ya. Bersama ucapan selamat pagi, siang, dan malam. Selalu seperti itu. Sampai putus. Tapi beberapa foto sudah sempat ditukarkan. Biar jadi bukti tentang adanya sebuah hubungan bernama pacaran.

Waktu pun semakin cepat saja berkelebat. Smp jadi masa yang terlewat.

Ada yang bilang, Jalan-jalan punya bahasanya masing-masing. Ada jalan tempat saya dimana dulu berangkat ngaji malam berjalan kaki bersama teman-teman. Lumayan jauh dari rumah. Melewati kebun jati yang kita selalu bercerita bahwa disana angker dan banyak hantunya. Sesekali ada anjing menyalak yang membuat kita takut untuk berangkat atau kembali. Sekarang jalan itu telah diaspal dan ada lampunya. Bahkan di salah satu sisi sudah ada warungnya.

Ada juga jalan tempat kita berperan layaknya si bolang. Menyusuri sawah dan sungai untuk bertualang mencari ikan. Lengkap dengan atribut tas dan topi yang kita tulis dengan spidol sebagaimana acara kesayangan kita di televisi itu. Kita bahagia sekali dengan apa yang kita lakukan itu. Bahkan masih teramat bahagia untuk sekadar dikenang.

Dan tentu saja tempat berpulangnya adalah rumah. tempat saya untuk bisa memanggil ibuk sepuasnya. Meminta masakannya yang selalu saja enak. Memfungsikan diri saya sepuasnya sebagai seorang anak.

Rumah saya, surga saya. Begitu istilah populernya. Disana tinggal seorang bapak yang membiarkan anaknya berambut gondrong. Seorang kakek yang lahir ketika indonesia merdeka. Lalu seorang nenek yang selalu berdoa. Dan seorang ibu yang selalu menunggu kepulangan anaknya. Baik itu saya, maupun adik saya yang masih kelas 1 sd dalam perjalanan sekolah atau ngajinya yang dekat sekali dengan rumah. Saya yakin. Saya pasti bisa terus membahagiakan semua orang yang tinggal didalam rumah ini. Tidak boleh tidak.

Rumah ini. Ya. Rumah yang terkadang bocor disaat hujan. Terkadang ada beberapa tikus dan kucing berkejaran. Juga selalu bising suaranya karena langsung pas menghadap jalan raya dengan besar kecilnya kendaraan.

Rumah itu juga lah yang selalu menerima saya sepulang dari mondok di kota tetangga. Sambil bersekolah sma disana. Sambil mengantarkan saya sampai hari ini berkuliah ditengahnya pulau jawa.

Rumah saya pada akhirnya masih akan terus panjang untuk terus menerus diceritakan. Dijalani. Dan diberikan kemanfaatan. Rumah saya itu di jalan PGA nomer tujuh rt 2 rw 1 dusun Butoh, desa Tulungagung, kecamatan baureno, kabupaten Bojonegoro. Provinsi Jawa Timur. Indonesia.

Sementara itu dulu ya. Jangan lupa kalau ada waktu mampir ke rumah saya. Kamu juga, sayang. Suatu saat kita pasti akan kesini.

Ditengah jalannya mungkin sambil mendengar lagu home sweet home-nya motle crue lewat headset yang cukup keras di telinga


Diketik dengan hape. Bojonegoro. Minggu pertama januari. 2017.

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya