Skip to main content

LELAKI BERSARUNG ITU

Kemana-mana selalu begitu. Bahkan di tempat wisata kekinian juga. Sarung dan kopyahnya selalu menempel. Seakan menegaskan pada dunia: ini sarung. Ini kopyah. Kiai-kiai jaman dulu selalu mengenakannya dimanapun berada. Sarung mbah wahab. Sarung mbah hasyim. Ikut mendukung kemerdekaan kita: di tahun 45.

Dia lalu mengambil sebatang rokok. Setelah sebelumnya bersikap sok kuat kalau sudah tidak merokok. Dasar!

Kami banyak bercerita malam itu. Di warung kopi depan tempat dia mondok, di langitan, Tuban. Sampai larut sekali. Pertemuan itu sempat diwarnai kopi yang tumpah. Suara truk-truk besar yang lewat. Analisa politik dan keislaman hari ini. Lalu suara hatinya tentang perempuan yang belum bisa lepas dari hari-hari yang terus berlalu.

"Muqollibal quluub" atau bolak-baliknya hati. Kami mendapatkan kalimat itu ditengah kopi yang terus menerus kami sruput. Mengenang masa indah dan kacaunya kami di SMA. Berpacaran dengan perempuan di jurusan yang sama. Dan mengalami kegalauan anak muda baru bersama-sama. Kami mengenang itu sambil tertawa-tawa.

Sungguh. Dia nampak tak banyak berubah. Hatinya barangkali juga sama. Masih sama di perempuan itu.

Saya ingat sewaktu dulu dia baru saja mengalami kecelakaan. Tangannya diperban. Kami memanfaatkan hari libur untuk menengoknya di rumah. Waktu itu kami sedang di pondok. Di sore yang biasa kami menumpang truck dari lampu merah jombang sampai tuban. Malam harinya kami menginap terlebih dahulu di rumah Iblis. Esoknya baru ke rumahnya. Kami tertawa-tawa dan saling mengejek. Seakan-akan kecelakaan itu hanyalah menjadi pengingat bahwa kita harus hati-hati dengan kendaraan bernama becak.

Pernah juga sekali waktu saya dan lelaki itu melakukan tindakan yang kita selalu tertawa jika mengingatnya. Yaitu membeli liontin untuk pacar kita. Kita saling menambahkan uang yang kita miliki untuk mendapatkan benda itu. Kami menawar dengan cukup jahat pada penjualnya. Kita pun mendapatkan benda itu, namun bingung bagaimana cara terbaik untuk memberikan kalung itu ke pacar kita. Haha.

"Mam... Umam"

"Opo Sen?"

"Hahaha"

"Hahahaha"

Dan Umam masih saja begitu. Sebenarnya saya juga. Menjadi gila kalau kembali berjumpa.

"Koyone aku isek 3 tahun neh nang pondok, Sen"

Dia hebat. Tidak bosan-bosan mondok. Bahkan kini dia jadi supir pribadinya kyai. Mengabdi demi kemanfaatan ilmunya.

Kita pun lalu kembali mengenang betapa inginnya kita dulu menjadi pecinta alam. Dengan membolos sekolah untuk ikutan lindri rock line. Naik gunung arjuna dan welirang. Sampai bersama ucil dan yang lainnya membuat grup PIPA (Pemuda Islam pecinta alam). Lalu P3A (Perkumpulan pemuda pecinta alam). Keduanya bubar gara-gara benderanya hilang. Sampai yang terakhir: Sanpala (Santri pecinta alam) yang nampaknya abadi, karena kita tidak pernah bersepakat membubarkannya. Meskipun itu juga bisa berarti sanpala kini tidak ada aktifitasnya sama sekali.

Belum lagi cerita mengganti kamera orang yang rusak gara-gara kita pakai main di pantai Tulung Agung. Kita hampir ngamen setiap jumat di surabaya. Tentu sambil kelayapan dimana-mana. Sampai kita dipanggil berdua di pondok putri. Disidang oleh teman sekolah kita sendiri. Haha.

Dan malam itu kita saling mengingatkan. Dengan sok bijak saya mengingatkannya untuk terus menjadi santri yang keren dan dia mengingatkan saya untuk terus menulis. Saya awalnya protes karena dia tidak menulis. Tapi saya kemudian diingatkan bahwa di masa kita di pondok dulu. Dengan segala keterbatasan yang ada. Dia bangga akan saya yang terus menerus menulis. Oke. Saya lalu menyepakati. Tentu sambil memaksa umam untuk ikutan menulis juga. Apalagi kini dia menjadi pembaca koran yang luar biasa.

Jam menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Kendaraan di jalur pantura berduyun-duyun memadati jalan raya. Obrolan kami terus saja mengalir, meski kopi kami hampir tandas.

Tiba-tiba Umam menanyakan kabar pacar saya. Saya jawab: baik. Asik. Saya bertanya balik. Bagaimana kabar perempuan itu? Dia menjawab: ya begitulah.

Umam pun bercerita bahwa dia dan perempuan itu pernah sama-sama bertahan. Juga sama-sama saling menunggu. Saya cukup kagum dengan mereka. Sebab mereka berdua yang paling lama bertahan bersama pacarnya sejak saya, iblis, ucil, dan wafa sama-sama sudah putus terlebih dahulu di masa SMA.

"Lha memurutmu apike piye, Sen?"

"Neg aku sih ora masalah apik elek e. Aku seneng ae neg koe mbeg arek e. Wkwkk"

"Haha. Hassem"

Cukup. Kita tidak akan membahas itu lagi. Toh Umam juga biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah kalau dia segera khatam hafalan 1000 bait nadzom alfiahnya.

Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 2 tepat. Saya harus segera bertukar motor dengan Wafa di rumahnya.

Saya bersiap kembali ke rumah. Umam juga. Entah kapan, kita pasti akan bertemu lagi. Bersama yang lain juga. Lebih ramai. Lebih gila. Agendanya masih sama, menyadari satu hal saat kita bersama: kita tak pernah benar-benar dewasa.


Diketik dengan Hape. Bojonegoro. Minggu pertama Februari. 2017

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya