Skip to main content

PAGI YANG GUGUR PADA MATA YANG TERBUKA

Foto pribadi. Bukan bulan diatas kuburan, Juni 2017

Adalah dendam. Yang terus menerus mencari padam. Dan seperti harapan kosong : perahu kertasku karam di laut lepas yang jauh dari lelap daratan.

Kusaksikan kapal-kapal itu. Sekoci yang khusyuk terbawa pejam. Semuanya berlayar dalam hening panjang. Ke mimpi yang entah. Sementara aku tertinggal di dermaga. Perahuku penuh lubang. Tukang kayu di kampung ini sungguh tak beralamat pasti.

Enampuluh tujuh bintang sudah kuhitung dan belum ada yang datang. Kulihat rumahmu dari sini. Kau tertidur dengan sisa pelukanku tadi. Aku belum bisa kesana. Pagar yang akan kulompati sungguh teramat tinggi. Dan tentu saja: beresiko.

Kuputuskan bercakap pada kucing hitam diantara tumpukan kayu dan menyapa orang-orang yang lewat menjaga pagi. Apakah aku sungguh masih bisa kembali ke kota itu. Atau paling tidak beranjak ke kota lain. Aku sungguh merindukan suasana hilang dan bertemu dengan diri sendiri. Aku benar-benar menginginkan arloji yang menahanku untuk sementara tidak terjaga.

Barangkali aku salah melewati pintu. Lalu tersesat untuk tetap membuka mata. Perlahan, Pagi yang terlalu dini nampak berguguran. Pemandangan yang sebenarnya ingin segera aku lewatkan. Halo. Halo. Ternyata suaraku terbentur debur ombak menghantam karang. Halo. Halo. Percuma.

Diantara hamparan pasir kucoba bersemangat mengisi botol kosong dengan suaraku. Mungkin akan kulempar sekuat tenaga melewati buih yang berbaris. Atau kutinggalkan begitu saja dipinggir pantai. Kelak, ketika penutupnya terbuka, pembicaraanku akan menyelinap disetiap telinga yang mendengarnya.

Tubuhku mulai kehilangan udara. Ingatan dan khayalan menyerangku dari segala penjuru. Aku semakin kesepian. Padahal fikiranku sedang ramai-ramainya digelar pasar malam.
Kupanggil-panggil namamu sayangku. Ayo ikut bermain. Atau paling tidak, ajaklah aku bertemu di halaman. Tapi bunyi pengumuman di gerbang jalan masuk dan desing mesin bianglala menelan suara itu sebelum tiba menyentuhmu.

Aku mau berlari. Tapi sama saja. Ruangan ini hanya berisi lautan, keramaian, dan pagar-pagar tinggi. Aku terdiam. Mencoba mengingat jejak sebelum kesini. Cukup jauh dan terjal jarak untuk sebuah perjuangan. Terlalu ceroboh bila kupaksakan berenang dengan tajam terumbu karang yang kapan saja bisa membuatku mati.

Kuputuskan yang terbaik bersama rasa sakit dan usaha belajar untuk hari esok : menunggu.

Pasti pasar malam akan segera tutup dan setiap yang berlayar akan pulang. Besar kemungkinan akan dibawanya cerita perjalanan juga barang berharga yang ketinggalan setelah yang tersisa hanya kesunyian.

Dan aku masih saja memandangi rumahmu. Menanti pintumu secepatnya terbuka dan menghampiriku disini.

Di tempat aku belajar untuk bisa tidur dengan baik lagi.

Sebab bersamamu aku selalu merasa dunia dan segala kegelisahanku akan menemukan pulangnya.


Jogja. Juni. 2017

Comments

Popular posts from this blog

'Menikah itu Biasa Saja'

/1/. Saya sepertinya akan selalu memikirkan pembuka novel Anna Karenina karangan Leo Tolstoy sampai kapan pun. "Keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama. Keluarga tidak bahagia, tidak bahagia dengan caranya masing-masing," tulisnya. Dan saya menikah. Mengucap janji di hadapan penghulu, orang tua, saksi, hadirin yang datang, dan tentu saja pacar saya yang menjadi istri saya: Yeni Mutiara. Mungkin aneh. Tapi saya berharap ini biasa saja. Seperti menggubah lagu Efek Rumah Kaca yang dimuat dalam album debut eponimnnya. Ketika rindu, menggebu gebu, kita menunggu Jatuh cinta itu biasa saja. /2/. Saya masih mengingatnya. Tertanggal 4 Maret. Pagi tiba ketika kapal laut mengangkat sauh di selat sunda. Itu kali pertama Abah, Ibuk, Adek, dan Budhe mengalaminya. Kami duduk di ruang terbuka. Mengamati gugusan pulau kecil dengan pepohonan kelapa yang berjejer, seperti lanskap di buku gambar anak-anak. Sesekali kami minum kopi, memakan cemilan, dan meresapi udara se

Kau, Cahaya

Di hadapan pintu kebahagiaan. Kesedihan menyeruak, membawa pedih, menggigilkan tubuh waktu sebelum keberangkatan. Segala yang bernyawa, berujung tiada. Pada keheningan itu, sebelum maut. Nama umat yang kau sebut Seorang penyair melagukannya. Sebatang pohon kurma menangis, tatkala kau pergi. Air matanya luruh melebur embun shubuh. Kesejukan pagi itu, angin yang berhembus di sekitarnya, dan tangis yang belum berhenti, seperti pertanda perasaan kehilangan, yang akan selamanya. Tapi mengapa nama umat yang kau sebut, bukan sorga, juga bukan Tuhan yang menciptakan semuanya, saat kematian itu tiba?  Kau manusia. Mengembala. Berniaga. Bersedih dan bercanda. Dan di hatimu, terbuat dari apa relung sanubari itu, begitu hidup, begitu luasnya. Begitu jernih, menarik semuanya.  Kau yang penuh cinta.  Cahayamu terbit dari kegelapan suatu masa. Pendarnya membuat orang-orang menghampirimu. Bahkan di hari lahirmu, orang yang kelak sangat membencimu, pernah begitu bahagia. Ia haru, ia merdeka

Selamat Ulang Tahun, Istriku

Beberapa puisi ini untukmu.   /1/. Pohon-pohon meranggas di sekujur tubuhnya,  usia dan waktu  berkejaran.  pernah kita memandanginya  di sana-sini  menghitung hari-hari  yang ditinggalkan hujan.  kita terus saja berbicara  menginginkan suatu hari  hanya angin, dingin,  dan luasnya cakrawala.    kau sandarkan kepalamu  di pundakku  tangan kita berpegangan.  Rasanya seperti  menggenggam erat seluruh isi dunia ini.    /2/. Cat yang belum kering  wangi ini akan selalu kuingat  dengan cara terbaik  yang kumiliki.    saat itu, dinding kusam  tubuhnya mengelupas  oleh lupa  dan terabaikan.    kita mengingat suasana  yang kita inginkan  sebelum bulan berganti  dengan penyesalan.    kuas menyapu sekeliling  menghapus kesedihan,  dan dendam  di balik pintu.    perlahan, udara baru  masuk dari ruang tamu  untuk tinggal  dan menetap.    dunia ini bukan ruang tunggu kita memang sengaja diundang  untuk berbahagia.   /3/. Kacamata di atas meja    seringkali aku menemukannya