Noon - Rest from Work (after Millet) by Vincent Van Gogh |
1. Kota-kota meremaja dalam ingatanku.
Mulanya hujan menebar baris. Tepat ketika kita memasuki tapal batas lelap. Perbincangan dan perjamuan yang belum habis namun waktu memaksa bergegas. Pada waktu itu pula, ditarik semua cerita yang pernah terperangkap dalam ruangnya. Di masa silam, pada basah air yang masih sama. Pada jendela dan toko-toko yang seperti ditakdirkan tidak berubah selamanya. Kita menghitungnya perlahan. Cukup berhati-hati. Kita begitu khawatir kehilangan sekelebat detailnya. Cinta, tiba-tiba menyeruak dalam perasaan ganjil dan menghangatkan. Perasaan itu, seringkali datang. Tak peduli lipatan usia menabalkannya. Kita, begitu sentimentil di hadapan sejarah, yang kita tulis sendiri.
2. Drama di setiap kota yang memainkan lakon kita kembali.
Sejak dari berbagai peristiwa terjadi. Serupa buku, kita menanggalkan beberapa halaman yang belum sempat kita tuliskan cuaca, suasana, dan potret terbaik kelak bagaimana kita akan mengingatnya. Lalu ketika kota, jalan-jalan, sampai reruntuhan itu hadir kembali, kita seperti menyaksikan wajah lain diri sendiri pada lanskap itu. Menuntaskannya. Kesedihan atau kegembiraan itu. Belajar sejarah, tak lagi terbatasi tahun-tahun penting atau sekadar titik balik. Suara jarum yang jatuh, kebahagiaan pada lampu merah itu. Kesendirian pada lengang hutan. Kekaguman pada mata yang tajam, senyum yang mendamaikan, pertikaian kecil pada adu mulut, rasa sayang, dan segenap perhatian adalah pemilik sah dari babad panjang drama kesejarahan kita sebagai lakon utamanya. Sebuah pertunjukan yang tidak setiap saat dimainkan, tapi begitu kita hafal naskah dan setiap improvisasinya. Masih saja, dengan cinta, yang kita begitu bersyukur bisa memilikinya.
3. Jarak dan kenangan terus menikmati perjudian tanpa mencari pemenang.
Sesekali jarak membentang panjang, mengekalkan sunyi. Sesekali yang lain, kenangan memaksa waktu terperangkap dalam dimensi aneh yang hadir dengan sendirinya. Sebuah permainan kita, perjudian yang tidak untuk menambah barisan pecundang. Kita hanya menyerahkan semua yang kita miliki pada waktu. Segala pencapaian serupa dadu yang diputar bersamanya. Dihadapkan kenangan. Apapun gambar yang keluar, kita adalah tuannya. Menikmatinya dengan sepenuh jiwa. Terlebih ketika dalam satu bagiannya. Mata itu mencoba menyerahkan semua yang kau miliki padaku, dan aku, merasainya. Menahan diri untuk tidak melihatnya. Berpura-pura. Karena dunia di dalam bola mata itu, dengan segala jarak, kenangan, dan segala hal yang terus tumbuh di dalamnya, bisa merampas seluruh kesadaranku.
4. Menyusun puing berserak, menata reruntuhan, menggenggam kenyataannya.
Dalam beberapa lapisan, kenyataan semakin membawa ke inti. Menghubungkan cerita dari pertemuan ke pertemuan, dari pertentangan ke pertentangan, dari kota ke kota, dari mata ke hati. Mencintaimu dan dicintai olehmu adalah bagian kecil dari sejarah perkembangan manusia yang menghendaki perubahan. Menggerakkan kekuatan yang menghidupkan, menyatukannya. Menghadapi segala bentuk yang rawan bisa melukai tawa anak-anak itu, punggung tegak para penggarap lahan, jam istirahat para pekerja, dan rasa sakit pada orang-orang yang butuh berobat dan belajar menyusun cahaya. Cinta ini, sepertinya bergerak melewati sekadar bentangan jarak dan kenangan berserak. Cinta ini pada akhirnya, mungkin sederhana. Seperti terus bertikai kecil dan segera berdamai setelahnya, berdebat tentang warna hitam dan magenta, saling melengkapi kelemahan dan meremehkan kesombongan, terus bekerja sama. Merawat peran yang kita telah mengambilnya, mengajak yang lain, pada kewajaran hidup berdampingan sesama manusia.
5. Melengkapi cerita kita.
Meskipun mungkin tidak pernah lengkap, segar embun dan nafas pagi, tanaman kita yang tumbuh dan berbunga, masakan sendiri, persiapan dan perencanaan yang baik, rasa lega setelah menuntaskan salah satu kerja dan usaha, akan menjadi kebahagiaan yang seperti terus mengekal. Tak lupa, harap dan doa kita pada orang-orang terdekat, semacam perjuangan yang digiatkan, hari ini dan esok, keluarga, dan terutama sekali, mungkin, ibu: pendoa sejati kita. Melengkapi halaman-halaman yang belum bisa kita tebak akhirnya. Penutup kisah kita. Karena bisa jadi ia akan dilanjutkan. Bisa jadi juga akan ada rasa sakit, jatuh, bangkit, dan penyembuhannya kembali. Setidaknya, mereka, jarak dan kenangan itu. Akan mengulang diri untuk menjaga dan senantiasa mengingatkannya, pada kita.
Yogyakarta - Gresik - Surabaya - Madura - Pasuruan - Jombang, 22 November 2020.
Gaul bang
ReplyDelete